Kamis, 01 Januari 2015

KITA SAMPAI PADA ZAMAN KEJAYAAN "TUNA SASTRA"



   Oleh  : Arifin Zakaria Ahmad

Dramawan Asrul Sani mengeluh, kaum intelektual kita kurang  membaca baca sastra. Keluhan ini disampaikan dalam ceramah “Refleksi Akhir Tahun 1992’ yang diselenggarakan awal Januari 1993 di LIPI, Jakarta.
Baginya, kehidupan kaum intelektual sekarang memprihatinkan. ini terjadi karena pilihan kebijakan kita sendiri. Kita terlalu menekankan urusan hanya pada keperluan hari ini. Kebijakan itu jelas tampak dalam masyarakat kita, dan mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan kultural.
Ia memberi contoh, dulu kaum intelekhial akrab dengan sastra. Dulu, buku-buku sastra yang baik bisa dibeli di toko buku. Sekarang tidak lagi. Buku bermutu sekarang dianggapnya tidak ada. Pasaran bebas kita cuma menyediakan buku-buku murahan, yaitu buku-buku yang menawarkan bagaimana jadi ini, jadi itu, dalam waktu singkat, dan mudah.
Dalam buku-buku seperti itu, yang ada adalah ajaran ”perut”. Jadi tidak ada sama sekali gizi ruhani yang sangat diperlukan oleh intelektual. “Bagaimana mungkin,” katanya lagi, ‘intelektual bisa memahami hakikat manusia kalau mereka tak membaca sastra?”
Maka, menghadapi keadaan seperti itu, dramawan kita pun mengimbau (tentu kepada pemerintah) agar kehidupan kaum intelektual diperhatikan. Segelintir kaum elite ini baginya tak boleh dibiarkan menjadi begitu merana.
Dramawan Emha Ainun Nadjib, yang berbicara sesudahnya, menyetujui pandangan Asrul Sani. Khususnya bahwa kita sekarang ini tidak memiliki buku-buku sastra bermutu. Selain karya Pram, Romo Mangun dan Kayam, boleh dikata tak ada lagi buku yang benar- benar bagus.
Emha bahkan menganggap, hasil-hasil kesenian kita, secara umum, lahir tidak dari “kerak” kemasyarakatan. Hasil kesenian kita tidak jelas konteks sejarahnya. Mereka lahir secara miskram. ini, katanya, karena dalam masyarakat kita terjadi kemiskinan spiritual.
Kaum seniman sendiri juga dianggap miskin kreativitas. Mereka cuma sibuk saling membabat, saling menjatuhkan, karena rasa cemburu terhadap satu sama lain. Dunia seniman pun, katanya, sudah dicemari sikap birokratis dan militeristis. Kreativitas kesenian, pokoknya mengalami semacam kemandekan. Ada jalan buntu !
Dengan seorang teman, saya pernah kesasar ke sebuah took buku yang khusus menjual buku-buku agama. Padahal saya ingin mencari buku sastra.                “Mau cari buku apa?” tanya penjaga toko itu. “Novel,” sahut saya. “Ada novel?” kata saya lagi sambil memperhatikan kiri-kanan, dan cuma buku-buku agama yang tampak. Dan entah dia kira barang macam apa yang disebut novel itu, penjaga toko itu menyahut dengan perasaan meremehkan, mungkin jijik.
“Tidak ada. Tidak ada novel. Di sini hanya ada buku agama.” Baginya, ada sejenis garis pemisah yang kontras antara novel dengan buku agama. Dalam benaknya, novel itu mungkin cerita jorok, porno, busuk dan segala macam hal yang dilarang agama. Memang tidak sangat aneh bila seorang penjaga toko seperti dia, memiliki wawasan seperti itu tentang novel. Seorang teman, sarjana pun, pemah mengatakan dalam sebuah diskusi tidak resmi ketika kami masih di Universitas Monash, Australia, bahwa membaca sastra itu hanya memperbodoh kita.
Memang mengejutkan, ada sarjana yang berpendapat seperti itu. Tapi mi adalah kenyataan hidup kita. Pandangan seperti itu muncul, mungkin karena kesombongan disipliner. Artinya, karena disiplin ilmunya eksakta, sesuatu yang dalam masyarakat kita dianggap lebih unggul daripada ilmu sosial, maka ia menilai sastra sebagai barang yang cuma bisa mengganggu. Tapi mungkin juga karena ia pada dasarnya memang jenis sarjana yang tunasastra.
Sarjana (belum tentu intelektual seperti dimaksud Asrul Sani), yang tunasastra tidak cuma sarjana dalam disiplin eksakta. Sarjana sosial pun tak kurang-kurangnya yang hidup jauh dari dunia sastra.
Para tunasastra itu mudah diketahui. Meskipun bidangnya tulis-menulis (misalnya peneliti), sarjana tunasastra pasti jelek bahasanya. Umumnya tidak mampu merumuskan isi pikiran dengan jernih, runtut dan analitik. Apalagi tajam, jernih, lucu dan segar.
Selain itu, biasanya juga lalu bersikap normatif. Artinya, dalam tulisan, mudah ditemukan sikap menggumi. Andaikata harus menulis cerpen pun, orang macam itu pasti, secara tak sadar, menulis sejenis khutbah. Apa lagi jika mereka sarjana yang kuat agamanya, atau malah baru terpesona melihat agama.
Saya kira, Asrul benar ketika mengatakan: bagaimana mungkin intelektual kita mau mengenal hakikat manusia jika mereka tak pemah membaca sastra, seperti disebut di atas.
Sastra memang mengantarkan manusia ke dalam perjalanan menuju kelengkapannya sebagai manusia. Warna humor, sikap satiris, atau sarkastik, sikap menertawakan diri sendiri atau citra tentang baik dan buruk, iri dan dengki, licik dan jujur, rakus, pedit dan pemurah, semua tercermin di dalam novel. Dan itu memperkaya kita.
Novel yang baik sering bisa “bicara” lebih baik, sering bisa “berdakwah” lebih menyentuh, dibanding sebagian pastur, pendeta atau kiai yang normatif. Novel, dengan kata lain, bisa juga mengantarkan kita pada hakikat Tuhan.
Maka barangkali Goethe benar ketika mengatakan bahwa barang siapa tidak membaca sastra, dia biadab, siapa pun dia. Kita tidak ingin dianggap biadab. Karena itu, mencoba membaca, agar tidak tunasastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar