Oleh : Arifin Zakaria Ahmad
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Filsafat
adalah seni bertanya, “mengapa ini begini” dan “kenapa itu begitu”. Pertanyaan
dengan demikian adalah spirit dan inti dari filsafat. Tapi, tidak
juga dapat dianggap secara sederhana jika filsafat hanya diletakkan sebagai
rentetan pertanyaan-pertanyaan tanpa solusi dan penyelesaian. Filsafat
mengajarkan banyak hal. Paling tidak, ia mengajarkan ketelitian dalam berfikir
dan disiplin dalam menjalankan kehidupan.
Al-Qur’an
menjelaskan salah satu identitas kedirian sebagai kitab hikmah dan
Al-Qur’anulhakim yaitu buku yang berarti kearifan, ilmu, dan kebijaksanaan yang
“sepadan” dengan arti filsafat, yaitu cinta ilmu dan cinta kebijaksanaan Allah
SWT. Dengan kesadaran ini, Al-Qur’an harus dipandang sebagai panutan dalam
berbagai aspek kehidupan, tidak hanya mencakup ajaran dogmatis tetapi juga ilmu
pengetahuan. Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana berfirman dalam QS.
An-nisa ayat 203 yang berbunyi:
Sekiranya
bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari
mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan
melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun
kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu,
dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia
Allah sangat besar atasmu. (An-nisa:
113).
Berdasarkan ayat di atas, maka keberadaan filsafat dakwah
telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Dengan demikian filsafat dakwah adalah
filsafat Al-Qur’an dan filsafat Al-Qur’an adalah filsafat dakwah, dan dapat
pula disebut filsafat Nubuwah. Oleh karena itu, segala persoalan filsafat tidak
dapat dirumuskan tanpa bersumber pada Al-Qur’an.
Berpikir adalah cara
khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Di kalangan ahli mantiq
sangat masyhur istilah yang mendefinisikan manusia sebagai hayawan-natiq
(hewan yang berpikir). Karena kemampuan berpikir itu pulalah manusia merupakan
makhluk yang dimuliakan Allah SWT, seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an QS.
Al-Israa’ ayat 70 yang berbunyi:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan
Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang
baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan." (Al-Israa': 70).
Bahkan, amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah
kepada manusia (Adam) pun adalah karena faktor berpikir yang hanya dimiliki
oleh manusia itu. Sebab, dengan kemampuan berpikir, manusia akan dapat menyerap
ilmu pengetahuan dan mentransfernya. Peristiwa dialog antara malaikat, Adam,
dan Allah SWT memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa pemuliaan itu
berpangkal pada kemampuan berpikir dan menyimpan ilmu, seperti yang difirmankan
Allah dalam al-baqarah ayat 31-33 yang artinya:
"Dan
Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) itu seluruhnya, kemudian Allah
mengajukannya kepada para malaikat sambil berkata, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu memang orang-orang benar.' Mereka menjawab, 'Maha
Suci Engkau, tiada yang kami ketahui selain apa yang Engkau ajarkan kepada
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.' Allah
berfirman, 'Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.' Maka
setelah diberitahukannya, Allah berfirman, 'Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu zahirkan dan yang kamu sembunyikan'."
(Al-Baqarah: 31-33).
Islam memandang berpikir itu sebagai media untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Sebab dengan berpikir, manusia menyadari posisinya
sebagai hamba dan memahami fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi.
Tugasnya hanyalah menghambakan diri kepada Allah SWT dengan beribadah. Dengan
berpikir juga, manusia mengetahui betapa kuasanya Allah menciptakan alam
semesta dengan kekuatan yang maha dahsyat, dan dirinya sebagai manusia sangat
kecil dan tidak berarti di hadapan Allah Yang Maha Berkuasa.
Al-Qur'an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang
beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam
semesta. Karena dengan berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran (al-haq), yang kemudian untuk
diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman, "Hanyalah
orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran."
(Ar-Ra'd: 19)..
PEMBAHASAN
A.
Prinsip dasar dan metode berfikir yang diturunkan dalam Al-Qur’an
Secara etimologis,
ulul albab adalah golongan manusia yang menggunakan akal pikiran dan ketundukan
hatinya, (ashhab al-‘ukul), sedangkan insan nathiq adalah manusia yang
berpikir.[1]
Untuk memahami makna ulul albab dan insan nathiq, dapat ditelusuri melalui
penjelasan pencipta insan, yaitu Allah Swt dalam firman-firmannya. Pemahaman
ini akan menyadarkan manusia akan hakikat dan jati dirinya, bagaimana hubungan
dirinya sendiri dengan penggunaan potensi nalar (akal) dalam memikirkan dirinya
dan segala sesuatu di luar dirinya, serta fungsi kehadirannya di persada bumi
ini. Termasuk kedalam golongan Ulul Albab adalah orang yang beriman, berilmu
dan bertaqwa kepada Allah Swt.
Prinsip dasar
metode berfikir yang diturunkan dari Al- Qur’an berpegang teguh pada etika Ulul
Albab yang terdiri dari 16 prinsip, yaitu:[2]
1. Bertaqwa dan menegakan hak asasi
manusia.
2. Menjalankan ibadah haji dan
menyiapkan bekal taqwa dalam kehidupannya.
3. Mengambil pelajaran dari hikmah
dalam mencari kebaikan.
4. Memahami Al-Quran dan memehami ayat-
ayatnya baik yang muhkamat maupun yang mustasyabihat.
5. Menjadikan ruang angkasa, geografi,
meteorologi dan geofisika sebagai objek berpikir.
6. Bisa membedakan antar kebenaran dan
keburukan, tidak tergoda oleh keburukan dan selalu bertaqwa.
7. Mengimani dan mengambil pelajaran
dari kisah para Nabi dan Rasul.
8. Memahami kebenaran mutlak yang
datang dari Allah Swt.
9. Meyakini ke-Esaan Allah dan member
peringatan kepada umat manusia dengan dasar Al-Qur’an.
10. Mendalami kandungan Al-Quran dengan
mengambil berkah dan nilai- nilai kebaikan.
11. Menggunakan pendekatan sejarah dari
nabi Zakaria dan nabi Yusuf.
12. Mensyukuri ilmu dengan sujud atau
shalat diwaktu malam dalam upaya mendapatkan rahmat Allah Swt.
13. Meneyeleksi informasi terbaik dengan
tolak ukur hidayah dan norma agama.
14. Memiliki pengetahuan tentang flora
dan fauna.
15. Mengambil pelajaran dari kitab
taurat.
16. Beriman dan bertaqwa kepada Allah
SWT, memiliki kesadaran tinggi serta takut terhadap siksanya yang dahsyat.
Tiga aspek yaitu
aqal, indra dan qolb adalah merupakan objek berpikir yang berprinsip pada ulul
albab. Keseimbangan diantara akal, indra dan qolb tersebut, dapat menghindarkan
manusia dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir.[3]
1.
Akal
Kata akal berasal
dari bahasa arab al-‘aql, arti kata tersebut adalah sama dengan al- Idrak
(kesadaran) dan al-Fikr (pikiran, al- Hirj (penahan). Kata tersebut maknanya
sama. Dalam bahasa arab kata tersebut disebut mutaradif atau sinonim. Sementara
menurut Ibnu Manzur ‘aqala bermakna pula habasa berarti mengkaji, disamping itu
dengan kata- kata sejenis itu ‘aqala dikaitkan dengan kemampuan manusia untuk
mengikat fakta terutama digunakan untuk mengikat nafsu. Jadi akal adalah
kemampuan khas yang diberikan pencipta kepada manusia untuk mampu mengikat
realita yang dicerap dan diolah oleh otak dengan menggunakan informasi sebelum
kemudian dimaknai, mengolah dan mengendalikan dalam bentuk konsep berupa
perkataan, pikiran dan perbuatan.
a.
Sifat-sifat akal
Pertama,
kedudukannya adalah sesuatu yang pertama dan keesaan yang pertama dari segala
segi, menjadi berbilang dengan akal, karena dengan adanya akal (pikiran), maka
ada lagi yang menjadi objek pemikiran (ma’qul). Kedua, akal keluar dari yang
pertama bukan dalam proses waktu, sebagaimana halnya dengan wujud lainnya. Ketiga,
keluarnya akal dari yang pertama tidak mempengaruhi kesempurnaannya, demikian
pula keluarnya yang kurang sempurna dari yang lebih sempurna. Keempat, akal
keluar dari yang pertama dengan sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan atau
perobahan padanya, bukan pula karena kehendak dan pilihannya karena penetapan
kehendak (iradah) berarti merusak keesaannya, sebab dengan sendirinya (natural
necessity), maka keesaan yang pertama tetap terpelihara tanpa menimbulkan
bilangan. Kelima, kedudukan akal diantar semua wujud ialah sebagai pembuat
alat. Akal ini juga mengandung ide-ide dari plato, yang bukan idea of the good,
karena idea of the good ini adalah yang mengeluarkan akal tersebut.
b.
Letak Akal
Ada beberapa pemikir yang berpendapat
menegnai keberadaan atau letak akal, sebagian pemikir mengatakan bahwa, akal
terdapat di dalam otak (kepala), sedangkan menurut pemikir lainnya letak akal
terdapat dalam hati. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa akal terdapat
di dalam otak dan di dalam hati, akal dan hati merupakan kesatuan. Dalam salah
satu sabdanya Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa akal adalah cahaya (nur) yang
terdapat di dalam hati yang dapat membedakan antara benar dan tidak benar”.
2.
Indrawi (jasmani)
Jasmani terdiri
dari badan kasar, berupa wujud fisik, sifatnya tergantung pada materi dan
memiliki kecenderungan biologis-primitif, dapat hancur dan rusak, tetapi
merupakan tempat penting bagi eksistensi wadahnya unsure kehidupan.
3.
Qolb (nafs)
Dalam Mu’jam al-
Wasit disebutkan bahwa salah satu makna Qolb adalah jantunng yang enjadi pusat
peredaran darah. Letak jantung berada di dada sebelah kiri. Qalb berasal dari
kata qalaba yang berarti berubah, berpindah atau berbalik, kata qalb berari
hati atau jantung. Secara fisik jantung selalu berdetak dan naik turun, bolak-
balik memompakan darah. Sedangkan secara fisik qalb berarti bolak- balik antara
ya dan tidak, yakin dan ragu ataupun tenang dan gundah.
Qolb atau nafsani
merupakan unsur penghubung antara jasmani dan rohani, karena itu ia dapat
bersifat dan berkecenderungan seperti jasmani tetapi disisi lain juga memiliki
kecenderungan dan sifat seperti ruhani. Karena itu seperti disebutkan
dalam QS.Al-Syams: 8-9, nafs adalah potensi dari Allah yang diilhami dengan dua
kecenderungan baik dan buruk, ilham fujur dan ilham taqwa yang sama-sama
memiliki tarikan yang kuat. Pada saat mengaktualkan dirinya maka nafs memiliki
tiga potensi ghorizah dan tiga pola kerja, yaitu :[4]
a. Yang berkecenderungan kepada hal-hal yang
baik, pola kerjanya bersifat bolak-balik, lebih dekat kepada ruh, ialah qolbu,
wujud fisiknya Al-Dhimagh atau jantung, ia disebut hati atau qolb karena sifat
kerjanya yang qolaba atau bolak-balik. Qolb ini kecenderungannya pada rasa atau
afektif dalam psikologi bara.
b. Yang
berekcenderungan kepada hal buruk, pola kerjanya menyuruh sebagai daya dorong
terutama dalam eksistensi hidup, ialah nafs dalam arti sehari-hari disebut
nafsu. Meskipun begitu, sesuai potensi nafs itu sendiri memiliki kecenderungan
kepada kebaikan. Menurut TQN ada tujuh nafsu potensial, yaitu : ammarah,
lawwamah, sawiyah, muthmainnah, mardhiyah, rodhiyah, kamilah.
c. Yang bersifat memutuskan, mengikat,
menimbang dan senantiasa berpikir, inilah yang disebut akal. Ia disebut akal
karena pola kerjanya yang akala, yaitu mengikat, menimbang, dan memutuskan.
Wujud fisiknya ialah otak sebagai organ penting untuk berpikir. Akal ini bersifat
di tengah karena itu ia dapat saja cenderung kepada nafs atau qolb tergantung
siapa yang memimpin pada diri manusia itu.
Kaidah-kaidah Al-Qur’an agar
terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, antara lain: [5]
1.
Tidak melampaui batas
Segala sesuatu yang tidak dimengerti
dan tidak masuk akal tidak harus dipikirkan karena hal itu bukan tugas akal
untuk memikirkannya.
2.
Membuat perkiraan dan penetapan
Sebelum memutuskan suatu keputusan,
terlebih dulu dilakukan penetapan dan perkiraan tentang persoalan yang
dipikirkan dengan teliti dan tidak tergesa- gesa.
3.
Membatasi pesoalan sebelum melakukan penelitian
Melakukan pembatasan sebelum
melakukan pembahasan adalah langkah yang penting karena kemampuan akal itu
sangatlah terbatas. Akal tidak akan mampu memikirkan sesuatu diluar
jangkauannya tanpa ada batasan.
4.
Tidak sombong dan tidak menentang kebenaran
Kebohongan terhadap kebenaran
bertentangan dengan etika islam. Jika suatu kegiatan disertai dengan kebohongan
maka kebenaran yang hakiki tidak akan tercapai dan akan merusak pula tatanan
ukhuwah islamiyah.
5.
Melakukan check dan richek
Dalam mencari kebenaran yang hakiki
maka perlu dilakukan pengkajian ulang pada objek fikir dengan teliti.
6.
Berpegang teguh pada kebenaran hakiki
Akal harus tunduk pada kebenaran
yang mutlak dan ditopang oleh dalil- dalil yang qath’i.
7.
Menjauhkan diri dari tipu daya
Kepalsuan yang lahir dari dorongan
hawa nafsu adalah sesuatu yang akan menipu kejernihan dalam berfikir. Maka, upaya
menjauhkan diri dari nafsu adalah hal yang sangat penting.
8.
Mewujudkan kebenaran hakiki
Akal adalah suatu kenikamatan yang
harus disyukuri, maka cara mensyukurinya yaitu dengan cara memperjuangkan
kebenaran hakiki dalam kegiatan ilmiah.
9.
Menyerukan kebenaran hakiki
Al- Qur’an memberikan pedoman agar
akal digunakan untuk menyeru umat manusia pada kebenaran agar memperoleh
kemenangan dalam perjuangan hidupnya.
10.
Mempertahankan kebenaran hakiki
Setiap perjuangan maka akan selalu
berhadapan dengan tantangan dan rintangan yang datang dari dirinya sendiri
ataupun dari luar dirinya. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk
mempertahankan kebenaran hakiki. Karena apabila tidak di perjuangkan maka
kebenaran hakiki itu akan terkalahkan oleh ketidakbenaran.
Mazhab-mazhab
berpikir
1.
Empiricism (mazhab Tajribi), yaitu pemikiran yang didasarkan hanya pada
penggunaan potensi indra saja dalam memikirkan objek pikir. Pengetahuan yang
dihasilkannya adalah pengetahuan indra.
2.
Rasionalism (mazhab ‘Aqli), yaitu pengetahuan yang hanya didasarkan pada
pengunaan potensi akal. Pengetahuan yang diperolehnya adalah pengetahuan
rasional.
3.
Criticism (mazhab Naqdhi), yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggabungan
potensi indra dan akal dalam memikirkan objek pikir.
4.
Mysticism (mazhab Shufy), yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggunaan
potensi nurani dan intuisi. Pengetahuan yang diperolehnya adalah pengetahuan
mistis. [6]
B. Langkah-Langkah Berfikir Filosofis
Berdasarkan Al-Qur’an
Karena kedudukan
dan peranan berfikir sangat penting, Al-Qur’an tidak saja memerintahkan manusia
untuk menggunakan akalnya, tetapi juga memberikan pedoman, langkah-langkah
metodologis, serta teknik penggunaan akal dengan metode dan teknis yang lurus
dan meluruskan kearah kebenaran yang hak. bahkan, jika kandungan Al-Qur’an
diteliti dan dikaji akan di temukan langkah-langkah sebagai berikut: [7]
1.
Al-taharrur
min quyud al urf wa al takhalush an aghlal al- taqlid, yaitu upaya menbebaskan pemikiran
dari belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai dengan
prinsip-prinsip pengetahuan, langkah yang demikian itu disebut metode ilmiah
praktis.
2.
Al
taamul wa al musyahadah yaitu
langkah meditasi dan pencarian bukti atau data ilmiah empirik.
3.
Al
baths wa al muwajanah wa al istikro yaitu langkah analisis, pertimbangan dan induksi. Langkah
ini merupakan kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsip- prinsip penalaran
untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data- data empirik yang ditemukan.
4.
Al
hukm mabni ala al- dalil wa al burhan yaitu, langkah membuat keputusan ilmiah yang didasarkan pada
argument dan data empirik.
Ada pula metode berpikir filsafat islam
yang sudah di kembangkan oleh para filosof muslim, sebab filsafat dakwah
merupakan bagian dari filsafat islam. Paling tidak terdapat empat macam metode
yang telah mereka gunakan dan dapat di gunakn bagi filsafat dakwah yaitu sebagi
berikut:
1. Metode deduktif, metode ini mengandalkan
deduksi rasional dan demontrasi(burhan)
2.
Metode iluminasi, metode ini selain bersandar pada deduksi rasional dan
demontrasi juga pada usah penyucian jiwa(nafs)
3.
Metode pencapaian irfani untuk menempuh jalan tuhan dan mendekati kebenaran,
4. Metode kalam, metode ini memiliki prinsip
kelembutan dan mendahulukan sesuatu yang baik. [8]
Model pemikiran
filosofis dari hakikat ilmu dakwah itu adalah ilmu yang membangunkan
dan mengembalikan manusia kepada fitri, meluruskan tujuan hidup manusia, serta
meneguhkan fungsi khilafah, manusia menurut al-quran dan sunnah.
Selain itu, ia
juga menegaskan ilmu dakwah adalah ilmu perjuangan bagi umat islam dan ilmu
rekayasa masa depan umat dan peradaban islam. Maka metode pemikiran filosofis
dakwah dibangun dengan berdasarkan pada konsep Tauhidulloh. Dari konsep
ini dibangun aksiologi, epistimologi, dan metodologi keilmuan dakwah yang
mengacu pada hukum-hukum yang terdapat pada ayat kauniyah. Oleh karena itu
filsafat dakwah dapat dipahami sebagai sub sistem dari klasifikasi ilmu dalam
islam.
Langkah-langkah
berfikir filosofis berdasarkan Al-Qur’an dapat dirumuskan prinsip-prinsip
sebagai berikut: [9]
a.
Karena kedudukan dan peranan berfikir begitu penting, Al-Qur’an tidak saja
memerintahkan manusia menggunakan akalnya tetapi juga memberikan pedoman,
langkah-langkah metodologis, serta teknis penggunaan akal dengan metode yang
lurus dan meluruskan ke arah pencapaian kebenaran yang sebenarnya (haq)
b.
Agar akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berfikir Al-Qur’an pun
meletakan kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal.
c.
Mengenai al haq (kebenaran hakiki) yang wajib dipertahankan dan diperjuangkan
dalam kegiatan berfikir filosofis Al-Qur’an banyak meyebutkannya. bahkan
penyebutan kata al-haq tidak kurang dari 227 kali.
d. Manusia mesti menyadari keterbatasan kemampuan
akal dalam memikirkan objek fikir sehingga, tak jarang terjadi
kesalahan-kesalahan dalam melakukan kegiatan berfikir.
e.
Mazhab berfikir yang sudah ada dan lazim digunakan dapat di iqtibas (adopsi)
secara terpadu, tidak parsia dalam berfikir filosofis.
f. Menggunakan metode filsafat Islam yang sudah
dikembangkan oleh para filosof muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian
dari filsafat Islam.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Prinsip dasar
metode berfikir yang diturunkan dari Al- Qur’an berpegang teguh pada etika Ulul
Albab yang terdiri dari 16 prinsip yang intinya merupakan prinsip dasar yang
membangunkan dan mengembalikan manusia kepada fitri, meluruskan tujuan hidup
manusia, serta meneguhkan fungsi khalifah manusia menurut al-quran dan sunnah. Orang
yang beriman, berilmu dan bertaqwa kepada Allah SWT adalah termasuk kedalam
golongan Ulul Albab. Terdapat tiga aspek yaitu aqal, indra dan qolb yang merupakan
objek berpikir yang berprinsip pada ulul albab. Keseimbangan diantara akal,
indra dan qolb tersebut, dapat menghindarkan manusia dari kesalahan dan
kekeliruan dalam berpikir.
Adapun langkah-langkah berfikir filosofis berdasarkan
Al-Qur’an adalah sebagai berikut: Al-taharrur min quyud al urf wa al
takhalush an aghlal al- taqlid, yaitu upaya menbebaskan pemikiran dari
belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai dengan
prinsip-prinsip pengetahuan, langkah yang demikian itu disebut metode ilmiah
praktis. Al taamul wa al musyahadah yaitu langkah meditasi dan pencarian
bukti atau data ilmiah empirik. Al baths wa al muwajanah wa al istikro
yaitu langkah analisis, pertimbangan dan induksi. Langkah ini merupakan
kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsip- prinsip penalaran untuk
menemukan kebenaran ilmiah dari data- data empirik yang ditemukan. Al hukm
mabni ala al- dalil wa al burhan yaitu, langkah membuat keputusan ilmiah
yang didasarkan pada argument dan data empirik.
B. SARAN
Al-Qur'an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang
beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam
semesta. Karena dengan berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran
(al-haq), yang kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah
berfirman, "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat
mengambil pelajaran." (Ar-Ra'd: 19).
Islam memandang kaitan antara keilmuan dengan ketakwaan itu
sangat erat. Dalam arti, semakin dalam ilmu seseorang akan semakin takut kepada
Allah SWT. Disebutkan di dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya yang paling
takut kepada Allah SWT adalah orang-orang yang berilmu dari hamba-Nya."
(Faathir: 28).
Menurut kacamata Al-Qur'an, orang-orang yang mendurhakai
Allah itu karena disebabkan "cacat intelektual". Betapapun mereka
berpikir dan bahkan sebagian mereka ada yang turut bersaham untuk mengembangkan
peradaban manusia, namun selama proses berpikir tidak mengantarkan mereka ke
derajat "bertakwa", maka selama itu pula mereka tetap berada dalam
kategori orang-orang yang "tidak mengerti" atau meminjam istilah
Al-Qur'an "laa yafgahuun", "laa ya'lamuun", "laa
ya'qiluun".
Ilmuwan sejati ialah ilmuwan yang konsekuen dengan ilmunya.
Siap mengubah pendirian, sikap, kepribadian, bahkan idiologi, sesuai dengan
tuntutan dan konsekuensi pengetahuannya. Jika seorang ilmuwan bersikap jujur
dengan ilmunya, ia akan sampai pada konklusi bahwa ilmu apa pun--khususnya
ilmu-ilmu empirik dan eksperimental--yang didalami seseorang akan sampai pada
kesimpulan mentauhidkan Allah dan mengimani-Nya. Sikap ilmiah sejati tidak
hanya berhenti pada pengakuan pasif, tetapi menuntut keberanian untuk menyikapi
keyakinan itu dan mempertahankannya dari segala bentuk serangan yang dapat
mengganggu stabilitas dan eksistensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Faizah dkk. Psikologi Dakwah.
Jakarta.kencana.2009.
Syukriadi Sambas. Filsafat
Dakwah. Bandung,
KP Hadid.1999.
http://ucanmencarimakna.blogspot.com/2011/10/filsafat-dakwah.html,
diakses tangga 13 Desember 2013
[1] Syukriadi Sambas. Filsafat
Dakwah. Bandung,
KP Hadid.1999. h, 14
[2] Ibid, 17
[3]
Ibid, 21
[4]
Faizah
dkk. Psikologi Dakwah. Jakarta.kencana.2009, h. 33
[5]
Ibid., 34
[6] Ibid, 37
[7] http://ucanmencarimakna.blogspot.com/2011/10/filsafat-dakwah.html,
diakses tangga 13 Desember 2013
[8] Syukriadi Sambas. Filsafat
Dakwah. Bandung,
KP Hadid.1999.h 25
[9] Ibid, h 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar