Jumat, 02 Januari 2015

METODE BERFIKIR DALAM FILSAFAT ISLAM



 Oleh  : Arifin Zakaria Ahmad

PENDAHULUAN
 LATAR BELAKANG
Filsafat adalah seni bertanya, “mengapa ini begini” dan “kenapa itu begitu”. Pertanyaan dengan demikian adalah  spirit dan inti dari filsafat. Tapi, tidak juga dapat dianggap secara sederhana jika filsafat hanya diletakkan sebagai rentetan pertanyaan-pertanyaan tanpa solusi dan penyelesaian. Filsafat mengajarkan banyak hal. Paling tidak, ia mengajarkan ketelitian dalam berfikir dan disiplin dalam menjalankan kehidupan.
Al-Qur’an menjelaskan salah satu identitas kedirian sebagai kitab hikmah dan Al-Qur’anulhakim yaitu buku yang berarti kearifan, ilmu, dan kebijaksanaan yang “sepadan” dengan arti filsafat, yaitu cinta ilmu dan cinta kebijaksanaan Allah SWT. Dengan kesadaran ini, Al-Qur’an harus dipandang sebagai panutan dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya mencakup ajaran dogmatis tetapi juga ilmu pengetahuan. Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana berfirman dalam QS. An-nisa ayat 203 yang berbunyi:







Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. (An-nisa: 113).
Berdasarkan ayat di atas, maka keberadaan filsafat dakwah telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Dengan demikian filsafat dakwah adalah filsafat Al-Qur’an dan filsafat Al-Qur’an adalah filsafat dakwah, dan dapat pula disebut filsafat Nubuwah. Oleh karena itu, segala persoalan filsafat tidak dapat dirumuskan tanpa bersumber pada Al-Qur’an.
Berpikir adalah cara khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Di kalangan ahli mantiq sangat masyhur istilah yang mendefinisikan manusia sebagai hayawan-natiq (hewan yang berpikir). Karena kemampuan berpikir itu pulalah manusia merupakan makhluk yang dimuliakan Allah SWT, seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an QS. Al-Israa’ ayat 70 yang berbunyi:
 
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan." (Al-Israa': 70).
Bahkan, amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah kepada manusia (Adam) pun adalah karena faktor berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia itu. Sebab, dengan kemampuan berpikir, manusia akan dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mentransfernya. Peristiwa dialog antara malaikat, Adam, dan Allah SWT memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa pemuliaan itu berpangkal pada kemampuan berpikir dan menyimpan ilmu, seperti yang difirmankan Allah dalam al-baqarah ayat 31-33 yang artinya:
"Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) itu seluruhnya, kemudian Allah mengajukannya kepada para malaikat sambil berkata, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang benar.' Mereka menjawab, 'Maha Suci Engkau, tiada yang kami ketahui selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.' Allah berfirman, 'Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.' Maka setelah diberitahukannya, Allah berfirman, 'Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu zahirkan dan yang kamu sembunyikan'." (Al-Baqarah: 31-33).
Islam memandang berpikir itu sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab dengan berpikir, manusia menyadari posisinya sebagai hamba dan memahami fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi. Tugasnya hanyalah menghambakan diri kepada Allah SWT dengan beribadah. Dengan berpikir juga, manusia mengetahui betapa kuasanya Allah menciptakan alam semesta dengan kekuatan yang maha dahsyat, dan dirinya sebagai manusia sangat kecil dan tidak berarti di hadapan Allah Yang Maha Berkuasa.
Al-Qur'an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran             (al-haq), yang kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman, "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran." (Ar-Ra'd: 19)..



PEMBAHASAN
 A.    Prinsip dasar dan metode berfikir yang diturunkan dalam Al-Qur’an
Secara etimologis, ulul albab adalah golongan manusia yang menggunakan akal pikiran dan ketundukan hatinya, (ashhab al-‘ukul), sedangkan insan nathiq adalah manusia yang berpikir.[1] Untuk memahami makna ulul albab dan insan nathiq, dapat ditelusuri melalui penjelasan pencipta insan, yaitu Allah Swt dalam firman-firmannya. Pemahaman ini akan menyadarkan manusia akan hakikat dan jati dirinya, bagaimana hubungan dirinya sendiri dengan penggunaan potensi nalar (akal) dalam memikirkan dirinya dan segala sesuatu di luar dirinya, serta fungsi kehadirannya di persada bumi ini. Termasuk kedalam golongan Ulul Albab adalah orang yang beriman, berilmu dan bertaqwa kepada Allah Swt.
Prinsip dasar metode berfikir yang diturunkan dari Al- Qur’an berpegang teguh pada etika Ulul Albab yang terdiri dari 16 prinsip, yaitu:[2]
1.      Bertaqwa dan menegakan hak asasi manusia.
2.      Menjalankan ibadah haji dan menyiapkan bekal taqwa dalam kehidupannya.
3.      Mengambil pelajaran dari hikmah dalam mencari kebaikan.
4.      Memahami Al-Quran dan memehami ayat- ayatnya baik yang muhkamat maupun yang mustasyabihat. 
5.      Menjadikan ruang angkasa, geografi, meteorologi dan geofisika sebagai objek berpikir. 
6.      Bisa membedakan antar kebenaran dan keburukan, tidak tergoda oleh keburukan dan selalu bertaqwa.
7.      Mengimani dan mengambil pelajaran dari kisah para Nabi dan Rasul.
8.      Memahami kebenaran mutlak yang datang dari Allah Swt.
9.      Meyakini ke-Esaan Allah dan member peringatan kepada umat manusia dengan dasar Al-Qur’an. 
10.  Mendalami kandungan Al-Quran dengan mengambil berkah dan nilai- nilai kebaikan. 
11.  Menggunakan pendekatan sejarah dari nabi Zakaria dan nabi Yusuf.
12.  Mensyukuri ilmu dengan sujud atau shalat diwaktu malam dalam upaya mendapatkan rahmat Allah Swt. 
13.  Meneyeleksi informasi terbaik dengan tolak ukur hidayah dan norma agama.
14.  Memiliki pengetahuan tentang flora dan fauna.
15.  Mengambil pelajaran dari kitab taurat.
16.  Beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, memiliki kesadaran tinggi serta takut terhadap siksanya yang dahsyat.

Tiga aspek yaitu aqal, indra dan qolb adalah merupakan objek berpikir yang berprinsip pada ulul albab. Keseimbangan diantara akal, indra dan qolb tersebut, dapat menghindarkan manusia dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir.[3]

1.   Akal
Kata akal berasal dari bahasa arab al-‘aql, arti kata tersebut adalah sama dengan al- Idrak (kesadaran) dan al-Fikr (pikiran, al- Hirj (penahan). Kata tersebut maknanya sama. Dalam bahasa arab kata tersebut disebut mutaradif atau sinonim. Sementara menurut Ibnu Manzur ‘aqala bermakna pula habasa berarti mengkaji, disamping itu dengan kata- kata sejenis itu ‘aqala dikaitkan dengan kemampuan manusia untuk mengikat fakta terutama digunakan untuk mengikat nafsu. Jadi akal adalah kemampuan khas yang diberikan pencipta kepada manusia untuk mampu mengikat realita yang dicerap dan diolah oleh otak dengan menggunakan informasi sebelum kemudian dimaknai, mengolah dan mengendalikan dalam bentuk konsep berupa perkataan, pikiran dan perbuatan.
a.      Sifat-sifat akal
Pertama, kedudukannya adalah sesuatu yang pertama dan keesaan yang pertama dari segala segi, menjadi berbilang dengan akal, karena dengan adanya akal (pikiran), maka ada lagi yang menjadi objek pemikiran (ma’qul). Kedua, akal keluar dari yang pertama bukan dalam proses waktu, sebagaimana halnya dengan wujud lainnya. Ketiga, keluarnya akal dari yang pertama tidak mempengaruhi kesempurnaannya, demikian pula keluarnya yang kurang sempurna dari yang lebih sempurna. Keempat, akal keluar dari yang pertama dengan sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan atau perobahan padanya, bukan pula karena kehendak dan pilihannya karena penetapan kehendak (iradah) berarti merusak keesaannya, sebab dengan sendirinya (natural necessity), maka keesaan yang pertama tetap terpelihara tanpa menimbulkan bilangan. Kelima, kedudukan akal diantar semua wujud ialah sebagai pembuat alat. Akal ini juga mengandung ide-ide dari plato, yang bukan idea of the good, karena idea of the good ini adalah yang mengeluarkan akal tersebut.
b.     Letak Akal
Ada beberapa pemikir yang berpendapat menegnai keberadaan atau letak akal, sebagian pemikir mengatakan bahwa, akal terdapat di dalam otak (kepala), sedangkan menurut pemikir lainnya letak akal terdapat dalam hati. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa akal terdapat di dalam otak dan di dalam hati, akal dan hati merupakan kesatuan. Dalam salah satu sabdanya Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa akal adalah cahaya (nur) yang terdapat di dalam hati yang dapat membedakan antara benar dan tidak benar”.

2.   Indrawi (jasmani)
Jasmani terdiri dari badan kasar, berupa wujud fisik, sifatnya tergantung pada materi dan memiliki kecenderungan biologis-primitif, dapat hancur dan rusak, tetapi merupakan tempat penting bagi eksistensi wadahnya unsure kehidupan.
3.   Qolb (nafs)
Dalam Mu’jam al- Wasit disebutkan bahwa salah satu makna Qolb adalah jantunng yang enjadi pusat peredaran darah. Letak jantung berada di dada sebelah kiri. Qalb berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah atau berbalik, kata qalb berari hati atau jantung. Secara fisik jantung selalu berdetak dan naik turun, bolak- balik memompakan darah. Sedangkan secara fisik qalb berarti bolak- balik antara ya dan tidak, yakin dan ragu ataupun tenang dan gundah.
Qolb atau nafsani merupakan unsur penghubung antara jasmani dan rohani, karena itu ia dapat bersifat dan berkecenderungan seperti jasmani tetapi disisi lain juga memiliki kecenderungan  dan sifat seperti ruhani. Karena itu seperti disebutkan dalam QS.Al-Syams: 8-9, nafs adalah potensi dari Allah yang diilhami dengan dua kecenderungan baik dan buruk, ilham fujur dan ilham taqwa yang sama-sama memiliki tarikan yang kuat. Pada saat mengaktualkan dirinya maka nafs memiliki tiga potensi ghorizah dan tiga pola kerja, yaitu :[4]
a.   Yang berkecenderungan kepada hal-hal yang baik, pola kerjanya bersifat bolak-balik, lebih dekat kepada ruh, ialah qolbu, wujud fisiknya Al-Dhimagh atau jantung, ia disebut hati atau qolb karena sifat kerjanya yang qolaba atau bolak-balik. Qolb ini kecenderungannya pada rasa atau afektif dalam psikologi bara.

b.  Yang berekcenderungan kepada hal buruk, pola kerjanya menyuruh sebagai daya dorong terutama dalam eksistensi hidup, ialah nafs dalam arti sehari-hari disebut nafsu. Meskipun begitu, sesuai potensi nafs itu sendiri memiliki kecenderungan kepada kebaikan. Menurut TQN ada tujuh nafsu potensial, yaitu : ammarah, lawwamah, sawiyah, muthmainnah, mardhiyah, rodhiyah, kamilah.
c.       Yang bersifat memutuskan, mengikat, menimbang dan senantiasa berpikir, inilah yang disebut akal. Ia disebut akal karena pola kerjanya yang akala, yaitu mengikat, menimbang, dan memutuskan. Wujud fisiknya ialah otak sebagai organ penting untuk berpikir. Akal ini bersifat di tengah karena itu ia dapat saja cenderung kepada nafs atau qolb tergantung siapa yang memimpin pada diri manusia itu.

Kaidah-kaidah Al-Qur’an agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, antara lain: [5]
1.      Tidak melampaui batas
Segala sesuatu yang tidak dimengerti dan tidak masuk akal tidak harus dipikirkan karena hal itu bukan tugas akal untuk memikirkannya.
2.      Membuat perkiraan dan penetapan
Sebelum memutuskan suatu keputusan, terlebih dulu dilakukan penetapan dan perkiraan tentang persoalan yang dipikirkan dengan teliti dan tidak tergesa- gesa.
3.      Membatasi pesoalan sebelum melakukan penelitian
Melakukan pembatasan sebelum melakukan pembahasan adalah langkah yang penting karena kemampuan akal itu sangatlah terbatas. Akal tidak akan mampu memikirkan sesuatu diluar jangkauannya tanpa ada batasan.
4.      Tidak sombong dan tidak menentang kebenaran
Kebohongan terhadap kebenaran bertentangan dengan etika islam. Jika suatu kegiatan disertai dengan kebohongan maka kebenaran yang hakiki tidak akan tercapai dan akan merusak pula tatanan ukhuwah islamiyah.
5.      Melakukan check dan richek
Dalam mencari kebenaran yang hakiki maka perlu dilakukan pengkajian ulang pada objek fikir dengan teliti.
6.      Berpegang teguh pada kebenaran hakiki
Akal harus tunduk pada kebenaran yang mutlak dan ditopang oleh dalil- dalil yang qath’i.
7.      Menjauhkan diri dari tipu daya
Kepalsuan yang lahir dari dorongan hawa nafsu adalah sesuatu yang akan menipu kejernihan dalam berfikir. Maka, upaya menjauhkan diri dari nafsu adalah hal yang sangat penting.
8.      Mewujudkan kebenaran hakiki
Akal adalah suatu kenikamatan yang harus disyukuri, maka cara mensyukurinya yaitu dengan cara memperjuangkan kebenaran hakiki dalam kegiatan ilmiah.
9.      Menyerukan kebenaran hakiki
Al- Qur’an memberikan pedoman agar akal digunakan untuk menyeru umat manusia pada kebenaran agar memperoleh kemenangan dalam perjuangan hidupnya.
10.   Mempertahankan kebenaran hakiki
Setiap perjuangan maka akan selalu berhadapan dengan tantangan dan rintangan yang datang dari dirinya sendiri ataupun dari luar dirinya. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk mempertahankan kebenaran hakiki. Karena apabila tidak di perjuangkan maka kebenaran hakiki itu akan terkalahkan oleh ketidakbenaran.

Mazhab-mazhab berpikir
1.     Empiricism (mazhab Tajribi), yaitu pemikiran yang didasarkan hanya pada penggunaan potensi indra saja dalam memikirkan objek pikir. Pengetahuan yang dihasilkannya adalah pengetahuan indra.
2.     Rasionalism (mazhab ‘Aqli), yaitu pengetahuan yang hanya didasarkan pada pengunaan potensi akal. Pengetahuan yang diperolehnya adalah pengetahuan rasional.
3.     Criticism (mazhab Naqdhi), yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggabungan potensi indra dan akal dalam memikirkan objek pikir.
4.     Mysticism (mazhab Shufy), yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggunaan potensi nurani dan intuisi. Pengetahuan yang diperolehnya adalah pengetahuan mistis. [6]

B.  Langkah-Langkah Berfikir Filosofis Berdasarkan Al-Qur’an 
Karena kedudukan dan peranan berfikir sangat penting, Al-Qur’an tidak saja memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, tetapi juga memberikan pedoman, langkah-langkah metodologis, serta teknik penggunaan akal dengan metode dan teknis yang lurus dan meluruskan kearah kebenaran yang hak. bahkan, jika kandungan Al-Qur’an diteliti dan dikaji akan di temukan langkah-langkah sebagai berikut: [7]
1.            Al-taharrur min quyud al urf wa al takhalush an aghlal al- taqlid, yaitu upaya menbebaskan pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan, langkah yang demikian itu disebut metode ilmiah praktis.
2.            Al taamul wa al musyahadah yaitu langkah meditasi dan pencarian bukti atau data ilmiah empirik.
3.            Al baths wa al muwajanah wa al istikro yaitu langkah analisis, pertimbangan dan induksi. Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsip- prinsip penalaran untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data- data empirik yang ditemukan.
4.            Al hukm mabni ala al- dalil wa al burhan yaitu, langkah membuat keputusan ilmiah yang didasarkan pada argument dan data empirik.

Ada pula metode berpikir filsafat islam yang sudah di kembangkan oleh para filosof muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat islam. Paling tidak terdapat empat macam metode yang telah mereka gunakan dan dapat di gunakn bagi filsafat dakwah yaitu sebagi berikut:
1.      Metode deduktif, metode ini mengandalkan deduksi rasional dan demontrasi(burhan)
2.      Metode iluminasi, metode ini selain bersandar pada deduksi rasional dan demontrasi juga pada usah penyucian jiwa(nafs)
3.      Metode pencapaian irfani untuk menempuh jalan tuhan dan mendekati kebenaran,
4.      Metode kalam, metode ini memiliki prinsip kelembutan dan mendahulukan sesuatu yang baik. [8]

Model pemikiran filosofis  dari hakikat ilmu dakwah itu adalah ilmu yang membangunkan dan mengembalikan manusia kepada fitri, meluruskan tujuan hidup manusia, serta meneguhkan fungsi khilafah, manusia menurut al-quran dan sunnah.
Selain itu, ia juga menegaskan ilmu dakwah adalah ilmu perjuangan bagi umat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam. Maka metode pemikiran filosofis dakwah dibangun dengan berdasarkan pada konsep Tauhidulloh. Dari konsep ini dibangun aksiologi, epistimologi, dan metodologi keilmuan dakwah yang mengacu pada hukum-hukum yang terdapat pada ayat kauniyah. Oleh karena itu filsafat dakwah dapat dipahami sebagai sub sistem dari klasifikasi ilmu dalam islam.

Langkah-langkah berfikir filosofis berdasarkan Al-Qur’an dapat dirumuskan prinsip-prinsip sebagai berikut: [9]
a.      Karena kedudukan dan peranan berfikir begitu penting, Al-Qur’an tidak saja memerintahkan manusia menggunakan akalnya tetapi juga memberikan pedoman, langkah-langkah metodologis, serta teknis penggunaan akal dengan metode yang lurus dan meluruskan ke arah pencapaian kebenaran yang sebenarnya (haq)
b.     Agar akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berfikir Al-Qur’an pun meletakan  kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal.
c.      Mengenai al haq (kebenaran hakiki) yang wajib dipertahankan dan diperjuangkan dalam kegiatan berfikir filosofis Al-Qur’an banyak meyebutkannya. bahkan penyebutan kata al-haq tidak kurang dari 227 kali.
d.      Manusia mesti menyadari keterbatasan kemampuan akal dalam memikirkan objek fikir sehingga, tak jarang terjadi kesalahan-kesalahan dalam melakukan  kegiatan berfikir.
e.      Mazhab berfikir yang sudah ada dan lazim digunakan dapat di iqtibas (adopsi) secara terpadu, tidak parsia dalam berfikir filosofis.
f.       Menggunakan metode filsafat Islam yang sudah dikembangkan oleh para filosof muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat Islam.


 PENUTUP

A. KESIMPULAN
Prinsip dasar metode berfikir yang diturunkan dari Al- Qur’an berpegang teguh pada etika Ulul Albab yang terdiri dari 16 prinsip yang intinya merupakan prinsip dasar yang membangunkan dan mengembalikan manusia kepada fitri, meluruskan tujuan hidup manusia, serta meneguhkan fungsi khalifah manusia menurut al-quran dan sunnah. Orang yang beriman, berilmu dan bertaqwa kepada Allah SWT adalah termasuk kedalam golongan Ulul Albab. Terdapat tiga aspek yaitu aqal, indra dan qolb yang merupakan objek berpikir yang berprinsip pada ulul albab. Keseimbangan diantara akal, indra dan qolb tersebut, dapat menghindarkan manusia dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir.
Adapun langkah-langkah berfikir filosofis berdasarkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut: Al-taharrur min quyud al urf wa al takhalush an aghlal al- taqlid, yaitu upaya menbebaskan pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan, langkah yang demikian itu disebut metode ilmiah praktis. Al taamul wa al musyahadah yaitu langkah meditasi dan pencarian bukti atau data ilmiah empirik. Al baths wa al muwajanah wa al istikro yaitu langkah analisis, pertimbangan dan induksi. Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsip- prinsip penalaran untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data- data empirik yang ditemukan. Al hukm mabni ala al- dalil wa al burhan yaitu, langkah membuat keputusan ilmiah yang didasarkan pada argument dan data empirik.

B. SARAN
Al-Qur'an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran (al-haq), yang kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman, "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran." (Ar-Ra'd: 19).
Islam memandang kaitan antara keilmuan dengan ketakwaan itu sangat erat. Dalam arti, semakin dalam ilmu seseorang akan semakin takut kepada Allah SWT. Disebutkan di dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah SWT adalah orang-orang yang berilmu dari hamba-Nya." (Faathir: 28).
Menurut kacamata Al-Qur'an, orang-orang yang mendurhakai Allah itu karena disebabkan "cacat intelektual". Betapapun mereka berpikir dan bahkan sebagian mereka ada yang turut bersaham untuk mengembangkan peradaban manusia, namun selama proses berpikir tidak mengantarkan mereka ke derajat "bertakwa", maka selama itu pula mereka tetap berada dalam kategori orang-orang yang "tidak mengerti" atau meminjam istilah Al-Qur'an "laa yafgahuun", "laa ya'lamuun", "laa ya'qiluun".
Ilmuwan sejati ialah ilmuwan yang konsekuen dengan ilmunya. Siap mengubah pendirian, sikap, kepribadian, bahkan idiologi, sesuai dengan tuntutan dan konsekuensi pengetahuannya. Jika seorang ilmuwan bersikap jujur dengan ilmunya, ia akan sampai pada konklusi bahwa ilmu apa pun--khususnya ilmu-ilmu empirik dan eksperimental--yang didalami seseorang akan sampai pada kesimpulan mentauhidkan Allah dan mengimani-Nya. Sikap ilmiah sejati tidak hanya berhenti pada pengakuan pasif, tetapi menuntut keberanian untuk menyikapi keyakinan itu dan mempertahankannya dari segala bentuk serangan yang dapat mengganggu stabilitas dan eksistensinya.




DAFTAR PUSTAKA

Faizah dkk. Psikologi Dakwah. Jakarta.kencana.2009.
Syukriadi Sambas. Filsafat Dakwah. Bandung, KP Hadid.1999.



[1] Syukriadi Sambas. Filsafat Dakwah. Bandung, KP Hadid.1999. h, 14
[2] Ibid, 17
[3] Ibid, 21
[4] Faizah dkk. Psikologi Dakwah. Jakarta.kencana.2009, h. 33
[5] Ibid., 34
[6] Ibid, 37
[8] Syukriadi Sambas. Filsafat Dakwah. Bandung, KP Hadid.1999.h 25
[9] Ibid, h 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar