Oleh : Agus Zaen
Dalam adegan awal lakon Banjaran Dasamuka, Resi Wisrawa melamar Sukesi,
sekaring kedaton Alengka, untuk dikawinkan dengan Danaraja, putra sang resi itu
sendiri. Sukesi bersedia kawin dengan siapa pun asal orang itu bisa membeberkan
kepadanya makna sastra jendra hayu ningrat pan gruwating diyu yaitu ngelmu rahasia
(ning) urip.
Bagi Wisrawa, pandita sakti dan waskita itu, permintaan sang dewi bukan
perkara rumit. Maka, diajaknya Sukesi menyepi di sebuah gua di hutan untuk
diberi wejangan ilmu sastra jendra tadi. Tempat sepi merupakan syarat utama
karena sastra jendra bukan sembarang ilmu. Jika dibeberkan di sembarang tempat,
jagat bisa
guncang. Cacing akan berubah menjadi lembu, dan dewa-dewa mungkin bisa menjadi
kodok. Pokoknya berbahaya.
Prabu Sumali, Baginda Raja Alengka, tak keberatan melihat putrinya dibawa
ke hutan. Pertama karena Wisrawa adalah kakak seperguruannya. Kedua, resi
berjubah itu bukankah orang suci dan lubur derajat keduniaan maupun
keakhiratannya? Ia percaya, di tangan orang suci itu segala persoalan akan
beres. Sebab jubah ke-pandita-an, simbol kesalehan itu, bakal mencegah segenap
kemungkaran.
Suasana hening di dalam gua itu ketika penyingkapan rahasia dimulai.
Sukesi menunduk, meresapi makna-makna yang diungkap sang resi. Tak ada makhluk lain yang
mendengar. Dewa-dewa pun tidak. Tapi itu pula sebabnya, mengapa bencana timbul.
Berpuluh-puluh tahun sang mahatma menempuh laku batin, memusatkan nalar budi
dan mampu mencapai puncak tertinggi perjalanan ruhani seorang hamba.
Berpuluh-puluh tahun ia selalu khusyuk berzikir kepada Tuhan. Tapi kali
ini hawanya lain. Di sebelahnya ada Sukesi, perawan ayu yang sedang tumbuh.
Ibarat mangga baru mengkal mengkal-nya. Dimakan pagi enak, dirujak siang tambah
enak. Maka, pemusatan batin Wisrawa pun goyah. Alam gelap gulita. Dan ia lupa
makna wirid, lupa kitab-kitab, lupa anak. Dan lupa bahwa jubah yang dipakainya
itu simbol kesucian.
Sukesi pun tenggelam dalam kegelapan. Mereka baru sadar setelah segalanya
berlalu. Kedua makhluk itu bertangis-tangisan. Dan tangis mereka bertambah
pilu, menjadi tangis-(ing) jagat setelah hasil perbuatan itu tampak: Dasamuka
lahir. Dan jagat terancam.
Lakon ini merupakan tragedi bagi orang Jawa. Mereka menganggap tragedi ini
konkret. Tentu saja anggapan itu sah. Apalagi jika kita berpegang pada
pendirian bahwa bukan ketepatan sejarah’ itu benar yang dituntut, melainkan
makna simbolisnyalah yang harus dipahami.
Dengan kata lain, persetan bahwa resi itu tak pernah benar benar ada.
Tapi simbol-simbol yang tersembunyi di balik cerita itu, siapa bilang tidak
akrab dengan hidup keseharian kita sendiri?
Aneka tafsir simbolis boleh diajukan. Tapi mungkin cuma satu yang
penting: jangan terlalu percaya pada simbol. Sebab, dipakai oleh Wisrawa, atau
siapa pun, persoalannya tetap sama : simbol ya simbol. Ia bukan hakikat. Lagi
pula, jubah resi itu bukankah cuma kain biasa, dan bukankah si kain juga bisa
jadi gombal?
Kalau cuma itu inti pesan yang terkandung dalam lakon tersebut, mengapa Ki
Dalang Timbul bersedia mengulang dan mengulang pertunjukan dan tahun ke tahun?
Mungkin untuk peringatan. Mungkin juga menjadi sejenis dakwah karena
bagaimanapun, manusia itu makhluk yang mengidap penyakit kronis: pelupa. Dalam
hidup pribadi, kita mudah terkecoh karena lupa. Kalau orang yang datang ke
runah kita pakai dasi (hingga lehernya tampak tercekik) dan pakaiannya
mentereng, kontan kita percaya dia orang baik-baik. Tak tahunya garong.
Kalau calon menantu selalu datang dengan Mercy mengkilat, calon mertua
pun bersedia membungkuk ketika membukakan pintu. Kalau perlu, ibaratnya,
mencium tangan calon menantupun bersedia. Kita sudah silau pada simbol
kemewahan macam itu. Dan kita tak bisa menduga bahwa (seperti sering terjadi)
calon menantu itu temyata koruptor atau buronan yang sedang dicari polisi.
Realitas Politik kita pun tak sepi
dari pemujaan terhadap symbol-simbol.
Gejala ini pula yang membuat kita kecewa pada teman kita sendiri
“Saya kecewa. Ternyata cuma segitu kaliber kawan kita ini,’ kata Kang
Kamin suatu hari.
“Kamu sendiri yang salah kok Kang,” kata saya.
“Kok aku yang salah?” dia kaget. “Di mana salahku?
“Kamu terlalu mengidealisasikan dia. Selama orang tetap orang, dia punya
sisi-sisi yang menjengkelkan. Tidak ada orang ideal.”
“Tapi selama ini dia tegar. Dia umat oriented,” katanya lagi.
“Itu simbol luarnya, Kang. Dan kamu mengira apa yang tampak di luar sama
dengan isi di dalam.”
Kang Kamin tersentak. Lama dia menekur. Diam. “Kau benar. Kau benar...,”
bisiknya lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar