Kamis, 01 Januari 2015

"TRAGEDI SUKESI" SEBUAH CERMIN KEHIDUPAN


Oleh : Agus Zaen


Dalam adegan awal lakon Banjaran Dasamuka, Resi Wisrawa melamar Sukesi, sekaring kedaton Alengka, untuk dikawinkan dengan Danaraja, putra sang resi itu sendiri. Sukesi bersedia kawin dengan siapa pun asal orang itu bisa membeberkan kepadanya makna sastra jendra hayu ningrat pan gruwating diyu yaitu ngelmu rahasia (ning) urip.
Bagi Wisrawa, pandita sakti dan waskita itu, permintaan sang dewi bukan perkara rumit. Maka, diajaknya Sukesi menyepi di sebuah gua di hutan untuk diberi wejangan ilmu sastra jendra tadi. Tempat sepi merupakan syarat utama karena sastra jendra bukan sembarang ilmu. Jika dibeberkan di sembarang tempat,
jagat bisa guncang. Cacing akan berubah menjadi lembu, dan dewa-dewa mungkin bisa menjadi kodok. Pokoknya berbahaya.
Prabu Sumali, Baginda Raja Alengka, tak keberatan melihat putrinya dibawa ke hutan. Pertama karena Wisrawa adalah kakak seperguruannya. Kedua, resi berjubah itu bukankah orang suci dan lubur derajat keduniaan maupun keakhiratannya? Ia percaya, di tangan orang suci itu segala persoalan akan beres. Sebab jubah ke-pandita-an, simbol kesalehan itu, bakal mencegah segenap kemungkaran.

Suasana hening di dalam gua itu ketika penyingkapan rahasia dimulai. Sukesi menunduk, meresapi makna-makna yang  diungkap sang resi. Tak ada makhluk lain yang mendengar. Dewa-dewa pun tidak. Tapi itu pula sebabnya, mengapa bencana timbul. Berpuluh-puluh tahun sang mahatma menempuh laku batin, memusatkan nalar budi dan mampu mencapai puncak tertinggi perjalanan ruhani seorang hamba.
Berpuluh-puluh tahun ia selalu khusyuk berzikir kepada Tuhan. Tapi kali ini hawanya lain. Di sebelahnya ada Sukesi, perawan ayu yang sedang tumbuh. Ibarat mangga baru mengkal mengkal-nya. Dimakan pagi enak, dirujak siang tambah enak. Maka, pemusatan batin Wisrawa pun goyah. Alam gelap gulita. Dan ia lupa makna wirid, lupa kitab-kitab, lupa anak. Dan lupa bahwa jubah yang dipakainya itu simbol kesucian.
Sukesi pun tenggelam dalam kegelapan. Mereka baru sadar setelah segalanya berlalu. Kedua makhluk itu bertangis-tangisan. Dan tangis mereka bertambah pilu, menjadi tangis-(ing) jagat setelah hasil perbuatan itu tampak: Dasamuka lahir. Dan jagat terancam.
Lakon ini merupakan tragedi bagi orang Jawa. Mereka menganggap tragedi ini konkret. Tentu saja anggapan itu sah. Apalagi jika kita berpegang pada pendirian bahwa bukan ketepatan sejarah’ itu benar yang dituntut, melainkan makna simbolisnyalah yang harus dipahami.
Dengan kata lain, persetan bahwa resi itu tak pernah benar benar ada. Tapi simbol-simbol yang tersembunyi di balik cerita itu, siapa bilang tidak akrab dengan hidup keseharian kita sendiri?
Aneka tafsir simbolis boleh diajukan. Tapi mungkin cuma satu yang penting: jangan terlalu percaya pada simbol. Sebab, dipakai oleh Wisrawa, atau siapa pun, persoalannya tetap sama : simbol ya simbol. Ia bukan hakikat. Lagi pula, jubah resi itu bukankah cuma kain biasa, dan bukankah si kain juga bisa jadi gombal?
Kalau cuma itu inti pesan yang terkandung dalam lakon tersebut, mengapa Ki Dalang Timbul bersedia mengulang dan mengulang pertunjukan dan tahun ke tahun?
Mungkin untuk peringatan. Mungkin juga menjadi sejenis dakwah karena bagaimanapun, manusia itu makhluk yang mengidap penyakit kronis: pelupa. Dalam hidup pribadi, kita mudah terkecoh karena lupa. Kalau orang yang datang ke runah kita pakai dasi (hingga lehernya tampak tercekik) dan pakaiannya mentereng, kontan kita percaya dia orang baik-baik. Tak tahunya garong.
Kalau calon menantu selalu datang dengan Mercy mengkilat, calon mertua pun bersedia membungkuk ketika membukakan pintu. Kalau perlu, ibaratnya, mencium tangan calon menantupun bersedia. Kita sudah silau pada simbol kemewahan macam itu. Dan kita tak bisa menduga bahwa (seperti sering terjadi) calon menantu itu temyata koruptor atau buronan yang sedang dicari polisi.
Realitas Politik  kita pun tak sepi dari  pemujaan terhadap symbol-simbol. Gejala ini pula yang membuat kita kecewa pada teman kita sendiri
“Saya kecewa. Ternyata cuma segitu kaliber kawan kita ini,’ kata Kang Kamin suatu hari.
“Kamu sendiri yang salah kok Kang,” kata saya.
“Kok aku yang salah?” dia kaget. “Di mana salahku?
“Kamu terlalu mengidealisasikan dia. Selama orang tetap orang, dia punya sisi-sisi yang menjengkelkan. Tidak ada orang ideal.”
“Tapi selama ini dia tegar. Dia umat oriented,” katanya lagi.
“Itu simbol luarnya, Kang. Dan kamu mengira apa yang tampak di luar sama dengan isi di dalam.”
Kang Kamin tersentak. Lama dia menekur. Diam. “Kau benar. Kau benar...,” bisiknya lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar