Kamis, 15 Desember 2016

TEORI TINDAKAN BERALASAN



TEORI TINDAKAN BERALASAN

 
BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang unik. Setiap manusia pasti memiliki perbedaan dengan manusia lainnya. Salah satu perbedaan yang dapat dilihat adalah dari tindakan yang dilakukannya. Manusia selalu melakukan berbagai tindakan setiap harinya. Tindakan yang dilakukannya tersebut bisa berupa tindakan baik ataupun buruk, disadari atau tidak perbuatan yang dilakukan manusi merupakan yindakan sosial.  Setiap tindakan pasti memiliki latar belakang dibaliknya dan memiliki tujuan serta dampak bagi individu yang melakukannya. Tanpa adanya latar belakang atau niat dibalik tindakan tersebut maka kemungkinan kecil tindakan itu dilakukan. Misalnya, seorang mahasiswa berbelanja di tempat perbelanjaan. Tindakan tersebut terjadi berdasarkan niat yang telah dipikirkan sebelumnya.

B. Rumusan masalah
  1. Apa yang dinamakan tindakan sosial   ?
  2. Apa yang melatar belakangi  lahirnya teori tindakan beralasan ?

BAB II
PEMBAHASAN


1.      Definisi dari tindakan sosial
Tindakan sosial adalah tindakan individu yang diarahkan pada orang lain dan memiliki arti, baik bagi diri si pelaku maupun bagi orang lain.
Dalam tindakan sosial mengandung tiga konsep, yaitu tindakan, tujuan dan pemahaman. Ciri-ciri dari tindakan sosial adalah tindakan memiliki makna subjektif, tindakan nyata yang bersifat membatin dan bersifat subjektif, tindakan berpengaruh positif, tindakan diarahkan pada orang lain dan tindakan merupakan respons terhadap tindakan orang lain.
Berdasarkan tingkat pemahamannya, terdapat rasionalitas instrumen, rasionalitas berorientasi nilai dan tindakan afektif serta tindakan tradisional.

2.  Definisi dari teori tindakan beralasan
Beberapa peneliti pada akhir tahun 1960 yaitu Martin Fishbein dan Icek Ajzan mengembangkan suatu teori berdasarkan pada perilaku atau tindakan yang dilakukan manusia tersebut. Teori tersebut yaitu Teori tindakan beralasan atau theory of reasoned action.  Dalam teori ini Martin Fishbein dan Icek Ajzan mengatakan bahwa tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh setiap individu dilatarbelakangi oleh suatu niat atau keinginan. Niat tersebut dianggap sebagai keinginan baik dalam diri sendiri ataupun dari luar diri untuk melakukan sesuatu.
Teori tindakan beralasan lahir karena pada saat itu penelitian-penelitian mengenai teori perilaku kurang berhasil.  Teori ini merupakan perbaikan dari teori yang ada sebelumnya yaitu Information Integration Theory.  Ada dua hal penting yang menjadi tambahan pada teori sebelumnya yaitu menambahkan elemen pada proses persuatif berupa tujuan perilaku atau tindakan. Maksudnya, teori tindakan beralasan ini tidak hanya memprediksi sebuah perilaku seperti yang ada pada teori sebelumnya tapi teori tindakan beralasan ini dapat melihat bahwa ada faktor yang mempengaruhi atau membatasi perilaku tersebut.  Misalnya ketika seseorang ingin memakan es krim, tapi disaat yang bersamaan orang tersebut sedang terserang flu, maka kondisi yang dialami tersebut membatasi perilaku orang itu sehingga tidak dapat memakan es krim.
Tambahan selanjutnya yaitu teori tindakan beralasan menggunakan dua elemen berupa sikap dan norma. Sebesar apapun keinginan kita untuk melakukan sebuah tindakan maka perlu dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar norma yang ada. Norma merupakan aturan yang dibentuk yang disepakati oleh berbagai pihak dan bertujuan untuk menciptakan keteraturan. Elemen norma menjadi sangat penting karena setiap tindakan akan beracu pada norma yang ada dan berdampak bukan hanya pada pelaku tindakan tapi juga orang disekelilingnya. Sehingga norma secara tidak sadar akan mempengaruhi perilaku tiap individu. Contohnya pada saat berada di dalam kereta ada tempat duduk kosong yang hendak dituju oleh individu tapi disaat bersamaan ada seorang kakek yang lebih membutuhkan tempat duduk tersebut maka norma membuat individu tersebut rela mengalah dan memberikan tempat duduk tersebut pada kakek itu.
Selain penambahan elemen pada teori tindakan beralasan . Ada asumsi mengenai teori tindakan beralasan ini yaitu individu berperilaku dengan cara yang sadar dan individu mempertimbangkan informasi yang tersedia serta secara eksplisit dan implisit individu tersebut mempertimbangkan dampak dari perilaku yang akan dilakukan. Teori ini secara tidak langsung menyebutkan bahwa perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak mungkin terjadi tanpa adanya niat. Niat tersebut dipengaruhi oleh sikap terhadap suatu perilaku. Selain itu, teori ini menjelaskan sifat normatif yang mungkin dimiliki individu. Teori ini menghubungan keyakinan, sikap, dan perilaku.
Seperti yang ada pada Information Integration Theory, factor  sikap sendiri terbagi menjadi dua komponen. Menurut, Fishbein dan Ajzen kedua komponen tersebut adalah  evaluasi dan kekuatan dari kepercayaan akan segala sesuatu. Komponen yang kedua, adalah kekuatan dari kepercayaan seseorang begitu mempengaruhi niat dari perilaku, norma (secara subjektif) yang berlaku, norma subyektif adala persefsi atau pandangan individu terhadap tekanan sosial atau kepercayaan individu lain yang dapat mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut. Norma subyektif terbagi menjadi dua komponen lagi yaitu  keyakinan normatif (memikirkan apa yang di inginkan oleh individu lain terhadap  diri individu lain sebagai bagian dari masyarakat atau  kelompok tertentu) dan motivasi untuk patuh (seberapa penting diri individu untuk menuruti atau  mematuhi apa yang individu lain harapkan terhadap diri dan perilakunya).
Norma subyektif tanpa disadari dapat mempengaruhi diri individu atau bahkan dengan penggunaan norma, seorang individu dapat mempengaruhi individu lainnya. Sehingga ada beberapa pilihan yang membuat seorang individu dapat mempengaruhi individu lainnya, seperti tujuan persuatif dapat didorong dengan memperkuuat keyakinan terhadap sikap, memperkuat evaluasi terhadap sikap,kekuatan lain  yang berlawanan dengan tujuan persuatif diperlemah, , membentuk sikap baru dengan kekuatan keyakinan dan evaluasi yang dapat mendukung tujuan persuasif, dan sebagainya.
Ada tiga kondisi yang membatasi pada penggunaan sikap dan norma untuk memprediksi suatu latar belakang atau niat individu, dan penggunaan niat perilaku untuk memprediksi kinerja perilaku itu tersebut, diantaranya :
1.      Tujuan dengan Perilaku: Terjadi perbedaan terhadap tujuan awal dengan perilaku karena adanya pengaruh-pengaruh lain. Walaupun dengan hasil sama tapi dengan perilaku yang berbeda. Misalnya ingin menjadi orang kaya dengan berusaha tapi malah merampok bank.
2.      Pilihan alternatif: kehadiran pilihan  atau alternatif bisa mengubah proses susunan dari tujuan individu akan segala sesuatu secara dramatis dan signifikan.
3.      Tujuan dan Perkiraan: kondisi dimana adanya perkiraan akan resiko yang terjadi jika perilaku tersebut dilakukan walaupun sesuai dengan keinginan individu tersebut.
      Karena adanya batasan-batsan terhadap prediksi dari perilaku individu, teori ini mendapat penambahan atau perbaikan. Perbaikantersebut dibuat untuk menunjukkan pada suatu waktu tertentu ketika seorang individu memiliki tujuan ataupun niat untuk melakukan sebuah perilaku, tetapi perilaku yang ingin dilakukan pada awalnya  menjadi berbeda dan terpengaruh oleh hal lain karena orang yang melakukan perilaku tersebut kurang memiliki rasa percaya diri atau kontrol terhadap perilakunya sendiri.
      Dari uraiann diatas, dapat  dilihat bahwa setiap manusia atau individu pasti memiliki niat atau tujuan sebelum melakukan tindakan. Hal ini berkaitan dengan akal yang dimiliki oleh manusia. Karena manusia selalu memikirkan apa yang akan terjadi atau dampak dari perilaku yang dilakukannya tersebut dan manusia selalu memikirkan persefsi masyarakt terhadap perilaku yang kan dilakukan tersebut. Begitu pun jika teori ini dikaitkan dengan penggunaan teknologi. Teknologi yang ada saat ini memang menjadi suatu hal yang baik tapi jika niat atau tujuan manusia tersebut tidak baik karena adanya pengaruh-pengaruh dari faktor lain maka kemajuan teknologi ini menjadi hal buruk unutk kedepannya.
      Karena kembali lagi, yang dapat menentukan buruk atau tidaknya perilaku bukan hanya manusia itu sendiri tapi juga ada norma-norma yang berlaku dimasyarakat yang akan memperngaruhi penilaian terhadap norma tersebut dan yang menentukan suatu hal memiliki keburukan atau kebaikan tergantung dari tujuan dan niat pada awalnya.



 BAB   III
PENUTUP

Kesimpulan

Tindakan sosial adalah tindakan individu yang diarahkan pada orang lain dan memiliki arti, baik bagi diri si pelaku maupun bagi orang lain.
Dalam tindakan sosial mengandung tiga konsep, yaitu tindakan, tujuan dan pemahaman. Ciri-ciri dari tindakan sosial adalah tindakan memiliki makna subjektif, tindakan nyata yang bersifat membatin dan bersifat subjektif, tindakan berpengaruh positif, tindakan diarahkan pada orang lain dan tindakan merupakan respons terhadap tindakan orang lain.
Teori tindakan beralasan lahir karena pada saat itu penelitian-penelitian mengenai teori perilaku kurang berhasil. 
Teori ini merupakan perbaikan dari teori yang ada sebelumnya yaitu Information Integration Theory.  
Ada dua hal penting yang menjadi tambahan pada teori sebelumnya yaitu menambahkan elemen pada proses persuatif berupa tujuan perilaku atau tindakan. Maksudnya, teori tindakan beralasan ini tidak hanya memprediksi sebuah perilaku seperti yang ada pada teori sebelumnya tapi teori tindakan beralasan ini dapat melihat bahwa ada faktor yang mempengaruhi atau membatasi perilaku tersebut.


SASARAN FIQIH SOSIAL



 SASARAN  FIQIH SOSIAL 




BAB I
 PENDAHULUAN


A.  LATAR BELAKANG
Syari’at Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari’at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama’ dalam ajaran fiqh (fiqh sosial), ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.
Sasaran Fiqih Sosial merupakan tema yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Sudah banyak sekali buku dan penelitian yang diterbitkan untuk mengulas pembaruan fiqih yang muncul tahun 1994 di Indonesia ini. Meski demikian, sayang sekali di dunia Arab Islam, istilah al-Fiqhu al-Ijtimiy, sebagai terjemah atas Fiqih Sosial, tak dikenal di masyarakat Timur Tengah. Timur Tengah lebih mengenal konsep yang merupakan dasar dari Fiqih Sosial di Indonesia, yaitu konsep Maqashid al-Syari‘ah dan konsep Fardlu ‘Ain-Fardlu Kifayah.

2.        RUMUSAN MASALAH
       Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1)        Apa itu fiqh social ?
2)        Apa  sasaran  fiqh sosial ?

3.      TUJUAN PENULISAN
 Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1)      Dapat mengetahui dan memahami tentang nuansa fiqih sosial
2)      Dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang sasaran fiqih sosial
3)      Diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam penulisan makalah atau karya tulis lainnya yang menggunakan tema yang sama pada makalah ini.

BAB  II
PEMBAHASAN

1)      Pengertian Fiqh Sosial
Dalam sejarahnya, Fiqih Sosial muncul setelah ide-ide pembaruan Fiqih di Indonesia bermunculan. Kita mengenal ide Fiqih Indonesia yang dipopulerkan oleh Hasby Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah muncul sejak 1940an). Ide itu ditindaklanjuti dengan ide Fiqih Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) oleh Hazairin pada tahun 1960an juga . Kemudian KH. Abdurrahman Wahid (lebih dikenal dengan pangilan Gus Dur) pada 1975 menawarkan ide Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan. Pada 1980an, Munawir Sjadzali mengusulkan ide Reaktualisasi Ajaran Islam. Disusul dengan ide Agama Keadilan oleh Masdar F. Mas’udi pada 1990an. Kemudian pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang “dianggap” ijmak Ulama Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru kemudian muncul ide Fiqih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. ‘Ali Yafie.
Sebagai sebuah wacana pemikiran, keberadaan Fiqh Sosial memang belum terdefinisikan secara jelas. Pemakaian istilah fiqh soaial (al-fiqh al-ijtima’i) secara bahasa akan menjadi tepat apabila disandingkan dengan term lain, yakni fiqh individu (al-fiqh al-infira dhi). Kedua istilah ini relative belum dikenal dalam discourse fiqh klasik, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa klasifikasi – klasifikasi fiqh yang dibangun selama ini tetap mengapresiasikan dua sisi tersebut.
Jika al-fiqh al-infira dhi lebih menekankan pada aspek ajaran tentang hubungan individu dengan Tuhan (ibadah mahdhah) dan hubungan manusia dengan manusia dalam bentuk personal (baina al-fardh wa al-fardh), Maka fiqh sosial (al-fiqh ijtima’i) lebih menekankan kajiannya pada aspek ajaran tentang hubungan antar sesama manusia-individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan pendekatan bahasa ini fiqh sosial dapat dipahami sebagai fiqh yang berdimensi sosial atau fiqh yang dibangun atas dasar hubungan antarindividu atau kelompok didalam masyarakat. Ketiadaan istilah tak otomatis menunjukkan ketiadaan ide dasar istilah tersebut. Adanya indikasi Fiqih Sosial di dunia Arab bisa dilacak dari mekanisme Fiqih Sosial itu sendiri. Ini mengingat Fiqih Sosial merupakan tema yang sangat besar. Mekanisme itu diantaranya adalah semangat menjadikan Fiqih tak hanya sebagai justifikasi hukum. Akan tetapi, menjadikannya sebagai kritik sosial, agen perubahan sosial, penggerak perubahan dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan begitu, Fiqih Sosial lebih peka terhadap masalah-masalah sosial dan lebih ramah budaya dan peradaban. Selain itu, ada mekanisme lain dari Fiqih Sosial. Yaitu, menverifikasi kembali mana persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan metode Maqâshid al-Syarî’ah. dari dua mekanisme itu saja bisa terlihat bahwa Fiqih Sosial, meskipun istilahnya dari Indonesia, akan tetapi spirit dan mekanismenya itu universal.
Fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol:
Pertama, Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, Perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu‘); Keempat, fiqh dihadir kan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.  Jika dicermati lebih jauh, kelima ciri di atas memang didasarkan alas keyakinan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab fiqh banyak yang dapat diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah sosial kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta menghilangkan peran khazanah klasik. Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh sosial diharapkan tidak tercerabut dari akar tradisi orthodoxy. Persoalannya sekarang bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan ini maka prinsip “almuha fadhatu ‘ala al-qodim al-salih wa al-akhdzu bil jadid al-aslah” akan selalu menjadi panduan.


2.    Sasaran dari Fiqh Sosial
Fiqh sosial merupakan sebuah ikhtiar aktualisasi fiqh klasik melalui upaya aktualisasi keseluruhan nilai yang ada didalamnya untuk dioptimalkan pelaksanaan dan diserasikan dengan tuntunan makna sosial yang terus berkembang. Menurut pendapat KH. Sahal Mahfud, fiqih bukanlah konsep dogmatif-normatif tapi konsep aktif-progesif, fiqih harus bersenyawa langsung dengan af’alul al mutakallifin sikap perilaku, kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslimin dalam semua aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah (interaksi sosial ekonomi).
Sasaran  pokok fiqh sosial adalah membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi sosial, atau fiqh yang dibangun dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam proses bermasyarakat dan bernegara. Secara khusus bisa dikatakan bahwa pemikiran fiqh sosial ini berangkat dari realitas sikap keberagaman masyarakat tradisional, yang secara hirarkis mempertahankan pola bermadzhab secara utuh (qauli dan manhaji) dan benar (dimanifestasikan dalam seluruh sendi kehidupan).
Menurut KH. Sahal Mahfud tidak benar jika ilmu fiqih dihina sebagai ilmu yang stagnan, sumber kejumudan dan kemunduran umat, fiqih justru langsung bersentuhan dengan kehidupan riil umat, oleh sebab itu fiqih harus di dorong dan revalisir agar kensepnya mampu memajukan dan mengarahkan umat Islam berpikir maju dengan tidak pasrah dengan keadaan yang kurang menguntungkan, sehingga mampu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.


  



BAB  III
PENUTUP


1.      Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah  :
-          Fiqih Sosial adalah  semangat menjadikan ilmu Fiqih tak hanya sebagai justifikasi hukum. Akan tetapi, menjadikannya sebagai kritik sosial, agen perubahan sosial, penggerak perubahan dalam masyarakat, dan lain sebagainya
-          Fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol:
Pertama, Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, Perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu‘); Keempat, fiqh dihadir kan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial. 
-          Sasaran  pokok fiqh sosial adalah membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi sosial, atau fiqh yang dibangun dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam proses bermasyarakat dan bernegara. yakni fiqih yang berhubungan, berkaitan dengan problematika sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya, dan politik.






DAFTAR   PUSTAKA


1.  Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial  (Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 1994), 4.
3.      Mahsun fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta. 2005), 108-109.
4.       http://www.nupakistan.or.id : diakses 20 november 2014
5.       http://www.nu.or.id : diakses 20 november 2014
Jamal D.Rahman, Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Tahun K.H. Ali

PSIKOLOGI KONSELING



PSIKOLOGI KONSELING

 

 


 

BAB I
PENDAHULUAN


A.  LATAR BELAKANG
Psikologi konseling yang merupakan cabang dari psikologi. Psikologi berasal dari bahasa yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi, secara harfiah psikologi adalah ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa. Sedangkan Konseling (counseling) biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang secara awam dimaknakan sebagai pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain. Konseling sebagai cabang dari psikologi merupakan praktik pemberian bantuan kepada individu.
Dengan mengerti pengertian psikologi dan pengertian konseling saja tidak cukup untuk kita sebagai calon konselor. Oleh karena itu, kita harus mengetahui apa sebenarnya pengertian psikologi konseling secara utuh, selain itu juga kita dituntut mampu memahami isi dari psikologi konseling, diantaranya langkah – langkah psikologi konseling dan tahap konseling dan dapat mengaplikasikannya sebagai bagian dari tugas seorang konselor.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.   Apakah pengertian Psikologi Konseling?
2.   Apakah manfaat psikologi konseling bagi kehidupan manusia?
3.   Bagaimanakah karakteristik konselor?
4.   Apa sajakah ketrampilan berkomunikasi yang harus dimiliki oleh konselor?
5.   Bagaimanakah tahapan-tahapan dalam melakukan konseling?

C.  TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian psikologi konseling
2. Untuk mengetahui manfaat psikologi konseling bagi kehidupan manusia
3. Untuk mengetahui karakteristik seorang konselor
4. Untuk mengetahui ketrampilan berkomunikasi yang harus dimiliki oleh konselor.
5. Untuk mengetahui tahapan-tahapan dalam melakukan konseling



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Psikologi Konseling
Psikologi Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah (disebut konsele) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Frank Parsons di tahun 1908 saat ia melakukan konseling karier. Berikut Pengertian Konseling Menurut Para Ahli
1.   Menurut Schertzer dan Stone (1980)
Psikologi Konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya.
2.   Menurut Jones (1951)
Psikologi Konseling adalah kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan. Dimana ia diberi panduan pribadi dan langsung dalam pemecahan untuk lkien. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri tanpa bantuan.
3.   Prayitno dan Erman Amti (2004:105)
Psikologi Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.

B.  Manfaat Psikologi Konseling
Psikologi Konseling pada hakikatnya membantu menyelesaikan masalah klien dan sebagai proses psikologis yang mana klien menghadapi suatu masalah dan konseling membantu memperbaiki keadaan klien menjadi kembali ke keadaan normal atau baik kembali sehingga didalam proses konseling klien akan mendapatkan suatu pengalaman baru. Ada lima macam pengalaman baru yang dapat diperoleh oleh klien dalam proses konseling :
1.      Mengenali konflik-konflik internal
Konseling membantu orang untuk mengenal bahwa masalah-masalah yang dialaminya sesungguhnya bersumber dari konflik-konflik yang ada dalam dirinya dan bukan karena situasi di luar dirinya.
2.      Menghadapi realitas
Banyak orang menghadapi berbagai masalah dalam dirinya karena kurang mampu menghadapi realitas. Sehingga mereka tidak mengetahui realita yang sebenarnya.
3.     Memulai suatu hubungan baru
Dengan adanya konseling, konseling akan memberikan peluang kepada klien untuk memperoleh hubungan baru yang mungkin belum pernah diperoleh sebelumnya. Dalam konseling ini klien berinteraksi dengan konselor dalam serangkaian wawancara konseling.
4.     Meningkatkan kebebasan psikologis
Banyak orang yang menghadapi kesulitan dan masalah karena dalam dirinya terdapat kekurangbebasan dalam menyatakan hal-hal yang bersifat psikologis. Misalnya merasa takut untuk berbeda pendapat dengan orang lain, karena merasa tidak bebas untuk menyatakan perasaan tertentu.
5.     Memperbaiki konsepsi-konsepsi yang keliru
Untuk dapat bebuat secara tepat, orang harus mampu mewujudkan perilaku yang didasarkan atas konsepsi secara benar. Akan tetapi orang yang memiliki konsepsi tentang perilakunya secara keliru. Makadalam proses konseling inilah semua konsepsi-konsepsi ini akan diluruskan.

C.  Karakteristik Konselor
1.      Kepribadian konselor
Ada beberapa keperibadian konselor yang perlu diperhatikan atau yang harus dimiliki seorang konselor untuk kepribadianya yaitu :
a.   Memiliki keperibadian yang kuat
b.   Bersifat menerima seseorang sebagaimana adanya
c.   Empati
d.   Jaminan emosional
e.   Menghindari nasihat-nasihat
f.   Memiliki ilmu jiwa dalau atau pun psikologi dan psikoterapi

2.      Kualitas konselor
Beberapa hal yang harus dimiliki konselor untuk menentukan kualitas konselor yaitu :
1)        Pengetahuan mengenai diri sendiri
2)        Kompetensi
3)        Kesihatan psikologis yang baik
4)        Dapat dipercaya
5)        Kejujuran
6)        Kekuatan atau daya
7)        Kehangatan pendengar yang aktif
8)        Kesabaran
9)        Kebebasan
10)    Kepekaan
11)    Kesadaran

D.  Ketrampilan Berkomunikasi Konselor
Untuk terlaksananya suatu komunikasi konseling yang dialogis, dengan mengajak klien berpartisipasi secara aktif, selain dari memahami karakter klien, adalah menguasai materi bahasan dan menguasai keterampilan berkomunikasi dialogis. Sekurang – kurangnya ada delapan keterampilan dialogis yang harus dikuasai yaitu :
1.      Keterampilan penghampiran
Penghampiran (attending), merupakan keterampilan dasar dalam proses komunikasi yang bersifat dialogis, karena penghampiran seolah – olah merupakan pembukaakan pintu pertama untuk memulai suatu komunikasi.keterampilan penghampiran merupakan keterampilan  berkomunikasi melalui isyarat- isyarat verbal dan non verbal, sehingga memberikan kemungkinan para mitra memberikan perhatian kepada pembicara pada tahap paling awal.
Untuk itu penghampiran ini merupakan keterampilan dasar dalam setiap proses komunikasi yang bersifat dialogis. Hal ini biasanya dilakukan dengan sapaan yang biak dengan nada yang baik, seperti : “assalamualaikum”, “selamat pagi” , dan lain sebagainya. Hal seperti itu dilakukan dengan cara perkataan yang baik dan sopan, dengan bahasa tubuh yang baik, seperti kontak mata, gerak badan dan lain-lain. Dengan itu  klien akan merasa diterima dan merasa penting serta merasa dihargai berada di dekat seorang konselor. Keterampilan ini dapat dikebangkan melalui berbagai cara, seperti :
• Ungkapan salam dan sapaan secara sopan
• Penampilan diri dengan postur  fisik yang meyakinkan
• Gerakan fisik yang disertai dengan perhatian
• Pengakuan
• Memelihara kontak mata
• Mengamati dan meyimak dengan penuh perhatian

2.      Keterampilan empati
Berempati kepada pihak lain merupakan keterampilan dasar dalam berkomunikasi terutama dalam komunikasi dialogis. Empati mempunyai makna sebagai sutau kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna, baik yang Nampak maupun yang terkandung, khususnya dalam aspek perasaan, pikiran, dan keinginan. Dengan berempati kita berusaha menempatkan diri kita dalam suasana perasaan, pikiran, dan  keinginan orang lain sedekat mungkin
            Keterampilan empati dapat dilakukan dengan memberikan respon dalam bentuk:
a.    Sikap menerima dan memahami ungkapan klien, minsalnya dengan gerakan mata, angukan, gerakan tanggan, air muka,
b.     Memberikan perhatian yang mendalam terhadap ungkapan klien,
c.     Pernyataan yang menggambarkan ungkapan suasana perasaan yang diungkapkan,
d.     Memberikan dukungan terhadap ungkapan tertentu.

3.     Keterampilan merangkumkan
Dalam suatu komunikasi  dialogis dalam konseling, mungkin akan mengemukakan dalam bentuk ungkapan tertentu dan mungkin secara panjang lebar. Sebagai wujud sikap penerimaan kita terhadap ungkapan tersebut, maka keterampilan yang diperlukan adalah keterampilan merangkum. Keterampilan ini dinyatakan dalam bentuk pemberian respon dengan  membuat rangkuman secara tepat semua materi yang diungkapkan.  Untuk itu konselor harus mampu menyimak seluruh pembicaraan  bersama klien dengan baik, dan kemudian  membuat rangkuman selanjutnya disampaikan sebagai respon konselor terhadap klien. Keterampilan membuat rangkuman yang baik dan yang tepat dapat memberikan dampak psikologi adanya rasa diterima, dihargai, dan diakui yang pada gilirannya dapat menunjang proses konseling selanjutnya.
            Keterampilan merangkum dapat  dilakukan dengan cara – cara seperti:
a.    Memberikan kesempatan kepada klien untuk menyampaikan ungkapan secara lengkap.
b.    Menujukkan sikap memberikan perhatian dan menyimaknya dengan penuh perhatian.
c.     Membuat catatan seperlunya untuk  merangkup pembicaraan.
d.     Pada akhir klien menyampaikan ungkapannya, konselor memberikan respon dalam bentuk menyampaikan rangkuman pembicaraan.

4.      Keterampilan bertanya
Bertanya merupakan salah aspek dalam proses komunikasi konseling, baik dalam memulai, selama proses berjalan, atau pun dalam  mengakhiri keterampilan bertanya merupakan keterampilan yang cukup penting dan strategi dalam komunikasi konseling, sebab dapat menentukan kelancaran proses konseling. Dalam komunikasi konseling ada dua macam bentuk pertanyaan  yaitu: pertanyaan terbuka merupakan pertanyan yang menuntut jawaban secara terbuka oleh klien. Pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan yang jawabannya sudah pasti dan biasanya bersifat factual.Keterampilan bertanya dapat dikembangkan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.
a.    Perhatikan suasana konseling dan klien.
b.    Kuasai materi yang terkait dengan pertanyaan.
c.    Ajukan pertanyaan dengan cara yang jelas dan terarah, serta tidak keluar dari topic pembahasan.
d.    Segera berikan respon balikan terhadap jawaban pertanyaan yang diajukan, dengan sikap yang baik dan empati.

5.     Keterampilan kejujuran (genuineness)
Dalam komunikasi konseling, konselor selaku komunikator harus mampu menunjukkan kejujuran dari apa yang diungkapkan sehingga dapat memberikan pesan secara objektif. Dalm hal ini mampu menyampaikan sesuatu secara terbuka tanpa harus dimanipulasi. Berkomunikasi secara jujur dan hasil merupakan kerterampilan komunikasi konseling yang amat penting. Dengan keterampilan ini konselor dapat menyatakan perasaan\nya mengenai perasaan klien dengan cara sedemikian rupa sehingga klien dapat menerima tanpa ada rasa ketersingungan. Keterampilan kejujuran dapat membantu untuk berbagai perasaan terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan klien, dan tetap menjaga hubungan baik. Untuk mengembangkan keterampilan kejujuran ada empat kondisi yang harus diperhatikan  yaitu:
a.      Ungkapkan perasaan yang sebenarya
b.      Kejadian yang membuat perasaan itu.
c.      Alasan mengapa berperasaan seperti itu
d.      Pengaruh perasaan itu terhadap kegiatan selanjutnya.

6.      Keterampilan asertif
Asersi adalah suatu tindakan dalam memberikan respon kepada tindakan orang lain dalam bentuk mempertahankan hak azasi sendiri yang mendasar, tanpa melanggar hak azasi orang lain yang mendasari dengan asasi, seseorang akan mampu mengakui hak azasi orang lain dan mampu bersikap secara tepat tanpa menguraingi hak azasi sendiri. Dalm komunikasi konseling, keterampilan untuk bersikap asertif diperlukan dalam menerima respon klien dan memberikan respon kembali dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga klien merasa hak azasinya tidak terganggu.

7.     Keterampilan konfrontasi
Keterampilan konfrontasi digunakan untuk memberikan respon terhadap pesan seseorang yang mengandung pesan ganda yang tidak sesuai saling bertentang satu dengan yang lainnya.  Dengan keterampilan konfrontasi kita dapat mengenal dan kita dapat mengenal dan merespon pesan ganda klien, sehingga ia menyadarinya dan kemudian berkembang kearah yang  lebih baik. Dalam komunikasi konseling, keterampilan konfrontasi merupakan cara konselor untuk membentuk titik perbedaan atau pertentangan dalam situasi sebagai berikut:
a.     Perbedaan antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan klien, minsalnya: “anda mengatakan bahwa anda selalu membaca Koran setiap har, tetapi ternyata hari ini anda tidak melakukan hal itu”.
b.     Perbedaan antara apa yang telah dikatakan seseorang dengan apa yang dilaporkan orang lain tentang dia, minsalnya “anda mengatakan bahwa anda adalah orang miskin dan  tidak mampu, akan tetap tetangga anda mengatakan bahwa anda baru saja membeli mobil baru TV berwarna”
c.      Perbedaan apa yang akan dikatakan dengan apa yang nampak, misalnya: “anda mengakui tidak marah, tetapi suara dan perbuatan anda menyatakan kemarahan.
Dalam menerapkan keterampilan konfrontasi ini, hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.     Konselor hendaknya memiliki pemahaman yang tepat dan bersikap empati dan jujur,
b.     Harus diperhatikan agar klien mau menerimanya dan tidak memberikan pertahanan dan perlawanan.
c.     Harus bersesuaikan dengan situasi dan kondisi masalah,
d.     Harus singkat dan tepat sasaran .
  
8.      Keterampilan pemecahan masalah
Keterampilan pemecahan masalah sangat diperlukan dalam komunikasi konseling untuk membantu klien dalm memecahkan masalah – masalah yang dihadapi.Ada tujuh tahapan yang dapat ditempuh dalam pemecahan masalah, yaitu:
a.     Menjajagi masalah, yaitu tahapan dimana melalui dialog antara konselor  dank lien  menetapkan masalah yang dihadapi.
b.     Memahami masalah, yaitu tahaapaan lebih lanjut untuk lebih mempertegas masalah yang sesungguhnya beserta aspek- aspek yang terkait latar belakang, alasan, tujuan sumber-sumber terkait, dsd
c.     Membatasi masalah, yaitu tahapan untuk bersama-sama menetapkan batasan-batasan masalah baik dari dimensi waktu maupun ruang, serta sumber-sumber daya penunjang.
d.     Menjabarkan alternative, yaitu konselor dank lien bersama- sama melakukan “ curah pendapat” (brainstorming) untuk menjabarkan  berbagi alternative kemungkinan pemecahan masalah.
e.     Mengevaluasi alternative,  yaitu  menilai setiap alternatif yang telah dikembangkan dalam tahap 4 diatas. Setiap alternative dievaluasi satu persatu dilihat dari kekuatan, kelemahan, peluang, sumber daya, dan prioritasnya.
f.     Memilih alternatif terbaik, yaitu menetapkan alternatif dipandang yang paling tepat berdasarkan hasil evaluasi dalam langkag 5.
g.     Menerapkan alternatif, yaitu tahapan melaksanakan alternatif yang dipandang paling baik dalam bentuk tindakan  nyata.

E. Tahapan-Tahapan Dalam Bimbingan Konseling
1.   Tahapan Awal
Tahap awal merupakan upaya untuk menjalin hubungan baik antara Konselor dengan klien agar klien dapat terlibat langsung dalam proses konseling. Diharapkan dapat memberikan arahan konseling secara tepat. Dalam tahap awal ada dua langkah yang harus diperhatikan. Dalam membina hubungan baik antara Konselor dengan klien, adanya rasa percaya antara keduanya, saling menerima dan bekerja sama dalam menyelesaikan masalah. Klien percaya dan menerima Konselor untuk membantu masalah yang dihadapi, klien mengungkakan masalahnya dengan terbuka, Konselor menerima bahwa masalah klien bear-benar terjadi dan memberi bantuan dengan cara menciptakan rapport atau menggunakan teknik konseling lain. Batasan yang diberikan maksudnya Konselor berusaha mengarahkan masalah yang terjadi pada klien seperti dari beberapa masalah yang dialami Konselor coba memberikan proiritas pada masalah yang paling penting untuk diselesaikan.

2.   Tahapan Inti
a.   Eksplorasi kondisi klien
Usaha Konselor mengkondisikan keadaan klien dalam konseling, atau berusaha mengadakan perubahan pada tingkah laku dan perasaan klien.
b.  Identifikasi masalah dan penyebabnya
Mengadakan pendataan masalah dan mencari tahu latar belakang terjadinya masalah . Identifikasi alternative pemecahan adalah Memberikan beberapa pilihan penyelesaian dan pemecahan masalah diharapkan klien sendiri yang memilih.

c.   Pengujian dan penetapan alternative pemecahan
Meminta klien untuk merealisasikan dari pilihan / keputusan yang diambil.
Evaluasi alternative pemecahan adalah Meninjau kembali pengujian alternative pamecahan masalah serta hasil pemecahan masalah.
d.   Implementasi alternative pemecahan
Menganjurkan untuk mengerjakan dari salah satu pemecahan masalah yang telah berhasil.

3.  Tahap Akhir
Tahap ini memberikan penilaian terhadap keefektifan proses bantuan konseling yang telah dilakukan.
a.   Analisis
Analisis adalah tahap pengumpulan data atau informasi tentang diri klien dan lingkunganya, untuk lebih mengerti terhadap keadaan klien. Mulai dari fisik dan psikis, keluarga, teman sebaya, nilai-nilai yang dianut serta aktivitas klien dengan data pendukung yang didapat dari berbagai sumber.
b.   Sintesis
Sintesis merupakan tahapan untuk merangkum dan mengorganisasikan data hasil tahap analisis, sehingga dapat memberikan gambaran diri klien yang terdiri dari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki, serta kemampuan dan ketidakmampuannya menyesuaikan diri. Dirumuskan secara spesifik, singkat dan padat juga sebagai diagnosis awal.
c.   Diagnosis
Diagnosis merupakan tahapan untuk menetapkan hakikat masalah yang dihadapi klien beserta sebab-sebabnya dengan membuat perkiraan atau dugaan, kemungkinan yang akan dihadapi klien berkaitan dengan masalahnya. Ada beberapa tahapan dalam diagnosis yaitu :
1)  Identifikasi masalah
Identifikasi masalah merupakan upaya menentukan hakikat masalah yang dihadapi oleh klien. Penentuan ini dapat menggunakan klasifikasi masalah sebagai berikut:
a. Ketergantungan pada orang lain (dependence)
b. Kurang menguasai keterampilan (lack of skill)
c. Konflik diri (self conflict)
d. Kecemasan menentukan pilihan (choice anxiety)
e. Masalah yang tidak dapat diklasifikasikan (no problem)

Dalam identifikasi masalah kita berusaha memahami apa yang dialami klien dan mencari kesulitan masalah yang dihadapi klien. Diagnosa mengambil kesimpulan untuk menentukan derita klien atau yang dirasakan klien. Dengan klasifikasi masalah dalam disgnosis sebagai berikut :
=> Faktor ketidakpercayaan diri
Ketergantungan pada oranglain, ketidaktahuan potensi yang ada, sulit mengambil keputusan, kurang informasi.
=> Faktor depresi atau konflik diri
Kecemasan(anxiety), gangguan pikiran, gangguan perasaan,dan gangguan tingkah laku.
=>Faktor miskomunikasi atau misunderstanding Kurang informasi, kurang tanggap, kurang peka terhadap lingkungan, atau kurang perhtian, mementingkan diri sendiri.

2)  Penemuan sebab-sebab masalah (etiologi)
Langkah ini merupakan upaya penentuan dari sumber penyebab timbulnya masalah. Yakni diantaranya mencari hubungan antara masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Dengan melihat hasil identifikasi masalah dapat timbul dari dalam diri dan luar diri klien. Penyebab yang berasal dari diri klien antara lain; gangguan kesehatan, kebiasaan-kebiasaan buruk, sikap negatif, kurangnya informasi, kemampuan intelektual yang rendah dan lain-lain. Penyebab yang berasal dari luar diri klien antara lain; sikap orang tua/guru yang tidak menunjang perkembangan klien, lingkungan rumah/sekolah yang tidak sesuai dengan karakteristik klen, dan dukungan sosial ekonomi yang kurang menunjang, serta masyarakat yang tidak kondusif.

3)  Prognosis
Langkah ini merupakan usaha memprediksi apa yang akan terjadi pada diri klien pada kemudian hari dengan memperhatikan masalah yang dialami klien. Dengan memberikan informasi berkaitan dengan prediksi yang dilakukan pada proses diagnosis klien dapat melakukan tindakan sebagai usaha penyelesaian masalahnya.

4)   Konseling / treatment (perlakuan)
Konseling merupakan proses tatap muka antara klien dengan konselor sebagai usaha pemberian bantuan yang dilakukan secara komunikasi verbal. Dengan tujuan agar klien memiliki kepercayaan dan dapat melakukan penyesuaian dirin dengan optimal terhadap lingkungan kehidupannya. Bentuk bantuannya dalam bentuk sebagai berikut :
a)   Identifikasi alternatif masalah
Usaha membuta beberapa pilihan pemecahan masalah berdasarkan hasil diagnosis dan sintesis baik untuk masalah yang berasal dari dalam diriklien atau masalah yang ber asal dari luar diri klien.
b)  Pengujian dan pemilihan alternatif pemecahan masalah
Merupakan tindakan yang kan memperjelas altenatif mana yang akan dilakukan sebagai pemecahan masalah.Melaksanakan pemecahan masalah terpilih. Setelah pemecahan masalah dipilih maka konselor membantu klien dan menetapkan kapan akan direlisasikan. Pemecahan masalah tentu akan melibatkan klien, konselor dan pihak terkait lain. Tujuan konselor memberikan tugas ini adalah:
=> Mengadakan perubahan pada lingkungan klien yang tidak menunjang perkembangannya.
=> Mengubah sikap negatif klien baik terhadap dirinya dan lingkungannya sehingga klien tidak mengalami masalah.
=> Membantu klien menemukan lingkungan yang sesuai dengan dirinya.
=> Membantu klien memperoleh keterampilan dan persyaratan yang diperlukan sehinggan masalah dapat diatasi.
=> Membantu klien menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi.
c)  Tindak lanjut (follow up)
Tindak lanjut berguna untuk melihat sejauh mana keberhasilan pemberian bantuan melalui proses konseling yang telah berlangsung. Juga sebagai upaya pemeliharaan yang dikembangkan oleh klien untuk mampu mengatasi masalahnya.

BAB III
KESIMPULAN


Psikologi Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah (disebut konsele) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Psikologi Konseling pada hakikatnya membantu menyelesaikan masalah klien dan sebagai proses psikologis yang mana klien menghadapi suatu masalah dan konseling membantu memperbaiki keadaan klien menjadi kembali ke keadaan normal atau baik kembali sehingga didalam proses konseling klien akan mendapatkan suatu pengalaman baru.
Terdapat beberapa kepribadian konselor yang perlu diperhatikan atau yang harus dimiliki seorang konselor untuk kepribadianya yaitu :   Memiliki keperibadian yang kuat,  Bersifat menerima seseorang sebagaimana adanya,   Empati,   Jaminan emosional,  Menghindari nasihat-nasihat,  Memiliki ilmu jiwa dalau atau pun psikologi dan psikoterapi. Untuk terlaksananya suatu komunikasi konseling yang dialogis, dengan mengajak klien berpartisipasi secara aktif, selain dari memahami karakter klien, adalah menguasai materi bahasan dan menguasai keterampilan berkomunikasi dialogis.
Hubungan antara konselor dan klien merupakan unsur penting dalam konseling. Hubungan koseling harus dibangun secara spesifik dan berbeda dengan hubungan sosial lainnya. Karena konseling membutuhkan hubungan yang diantaranya perlu adanya keterbukaan, pemahaman, penghargaan secara positif tanpa syarat, dan empati.


DAFTAR PUSTAKA

Jalaliddin Rakhmat. 1985. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Moh. Surya. 2003. Psikologi konseling. Bandung : Pustaka bani Quraisy