Kamis, 15 Desember 2016

SASARAN FIQIH SOSIAL



 SASARAN  FIQIH SOSIAL 




BAB I
 PENDAHULUAN


A.  LATAR BELAKANG
Syari’at Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari’at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama’ dalam ajaran fiqh (fiqh sosial), ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.
Sasaran Fiqih Sosial merupakan tema yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Sudah banyak sekali buku dan penelitian yang diterbitkan untuk mengulas pembaruan fiqih yang muncul tahun 1994 di Indonesia ini. Meski demikian, sayang sekali di dunia Arab Islam, istilah al-Fiqhu al-Ijtimiy, sebagai terjemah atas Fiqih Sosial, tak dikenal di masyarakat Timur Tengah. Timur Tengah lebih mengenal konsep yang merupakan dasar dari Fiqih Sosial di Indonesia, yaitu konsep Maqashid al-Syari‘ah dan konsep Fardlu ‘Ain-Fardlu Kifayah.

2.        RUMUSAN MASALAH
       Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1)        Apa itu fiqh social ?
2)        Apa  sasaran  fiqh sosial ?

3.      TUJUAN PENULISAN
 Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1)      Dapat mengetahui dan memahami tentang nuansa fiqih sosial
2)      Dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang sasaran fiqih sosial
3)      Diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam penulisan makalah atau karya tulis lainnya yang menggunakan tema yang sama pada makalah ini.

BAB  II
PEMBAHASAN

1)      Pengertian Fiqh Sosial
Dalam sejarahnya, Fiqih Sosial muncul setelah ide-ide pembaruan Fiqih di Indonesia bermunculan. Kita mengenal ide Fiqih Indonesia yang dipopulerkan oleh Hasby Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah muncul sejak 1940an). Ide itu ditindaklanjuti dengan ide Fiqih Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) oleh Hazairin pada tahun 1960an juga . Kemudian KH. Abdurrahman Wahid (lebih dikenal dengan pangilan Gus Dur) pada 1975 menawarkan ide Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan. Pada 1980an, Munawir Sjadzali mengusulkan ide Reaktualisasi Ajaran Islam. Disusul dengan ide Agama Keadilan oleh Masdar F. Mas’udi pada 1990an. Kemudian pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang “dianggap” ijmak Ulama Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru kemudian muncul ide Fiqih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. ‘Ali Yafie.
Sebagai sebuah wacana pemikiran, keberadaan Fiqh Sosial memang belum terdefinisikan secara jelas. Pemakaian istilah fiqh soaial (al-fiqh al-ijtima’i) secara bahasa akan menjadi tepat apabila disandingkan dengan term lain, yakni fiqh individu (al-fiqh al-infira dhi). Kedua istilah ini relative belum dikenal dalam discourse fiqh klasik, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa klasifikasi – klasifikasi fiqh yang dibangun selama ini tetap mengapresiasikan dua sisi tersebut.
Jika al-fiqh al-infira dhi lebih menekankan pada aspek ajaran tentang hubungan individu dengan Tuhan (ibadah mahdhah) dan hubungan manusia dengan manusia dalam bentuk personal (baina al-fardh wa al-fardh), Maka fiqh sosial (al-fiqh ijtima’i) lebih menekankan kajiannya pada aspek ajaran tentang hubungan antar sesama manusia-individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan pendekatan bahasa ini fiqh sosial dapat dipahami sebagai fiqh yang berdimensi sosial atau fiqh yang dibangun atas dasar hubungan antarindividu atau kelompok didalam masyarakat. Ketiadaan istilah tak otomatis menunjukkan ketiadaan ide dasar istilah tersebut. Adanya indikasi Fiqih Sosial di dunia Arab bisa dilacak dari mekanisme Fiqih Sosial itu sendiri. Ini mengingat Fiqih Sosial merupakan tema yang sangat besar. Mekanisme itu diantaranya adalah semangat menjadikan Fiqih tak hanya sebagai justifikasi hukum. Akan tetapi, menjadikannya sebagai kritik sosial, agen perubahan sosial, penggerak perubahan dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan begitu, Fiqih Sosial lebih peka terhadap masalah-masalah sosial dan lebih ramah budaya dan peradaban. Selain itu, ada mekanisme lain dari Fiqih Sosial. Yaitu, menverifikasi kembali mana persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan metode Maqâshid al-Syarî’ah. dari dua mekanisme itu saja bisa terlihat bahwa Fiqih Sosial, meskipun istilahnya dari Indonesia, akan tetapi spirit dan mekanismenya itu universal.
Fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol:
Pertama, Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, Perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu‘); Keempat, fiqh dihadir kan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.  Jika dicermati lebih jauh, kelima ciri di atas memang didasarkan alas keyakinan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab fiqh banyak yang dapat diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah sosial kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta menghilangkan peran khazanah klasik. Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh sosial diharapkan tidak tercerabut dari akar tradisi orthodoxy. Persoalannya sekarang bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan ini maka prinsip “almuha fadhatu ‘ala al-qodim al-salih wa al-akhdzu bil jadid al-aslah” akan selalu menjadi panduan.


2.    Sasaran dari Fiqh Sosial
Fiqh sosial merupakan sebuah ikhtiar aktualisasi fiqh klasik melalui upaya aktualisasi keseluruhan nilai yang ada didalamnya untuk dioptimalkan pelaksanaan dan diserasikan dengan tuntunan makna sosial yang terus berkembang. Menurut pendapat KH. Sahal Mahfud, fiqih bukanlah konsep dogmatif-normatif tapi konsep aktif-progesif, fiqih harus bersenyawa langsung dengan af’alul al mutakallifin sikap perilaku, kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslimin dalam semua aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah (interaksi sosial ekonomi).
Sasaran  pokok fiqh sosial adalah membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi sosial, atau fiqh yang dibangun dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam proses bermasyarakat dan bernegara. Secara khusus bisa dikatakan bahwa pemikiran fiqh sosial ini berangkat dari realitas sikap keberagaman masyarakat tradisional, yang secara hirarkis mempertahankan pola bermadzhab secara utuh (qauli dan manhaji) dan benar (dimanifestasikan dalam seluruh sendi kehidupan).
Menurut KH. Sahal Mahfud tidak benar jika ilmu fiqih dihina sebagai ilmu yang stagnan, sumber kejumudan dan kemunduran umat, fiqih justru langsung bersentuhan dengan kehidupan riil umat, oleh sebab itu fiqih harus di dorong dan revalisir agar kensepnya mampu memajukan dan mengarahkan umat Islam berpikir maju dengan tidak pasrah dengan keadaan yang kurang menguntungkan, sehingga mampu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.


  



BAB  III
PENUTUP


1.      Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah  :
-          Fiqih Sosial adalah  semangat menjadikan ilmu Fiqih tak hanya sebagai justifikasi hukum. Akan tetapi, menjadikannya sebagai kritik sosial, agen perubahan sosial, penggerak perubahan dalam masyarakat, dan lain sebagainya
-          Fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol:
Pertama, Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, Perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu‘); Keempat, fiqh dihadir kan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial. 
-          Sasaran  pokok fiqh sosial adalah membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi sosial, atau fiqh yang dibangun dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam proses bermasyarakat dan bernegara. yakni fiqih yang berhubungan, berkaitan dengan problematika sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya, dan politik.






DAFTAR   PUSTAKA


1.  Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial  (Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 1994), 4.
3.      Mahsun fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta. 2005), 108-109.
4.       http://www.nupakistan.or.id : diakses 20 november 2014
5.       http://www.nu.or.id : diakses 20 november 2014
Jamal D.Rahman, Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Tahun K.H. Ali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar