Oleh : Kang Zaffin
Menyimpang dan kelaziman, padepokan itu tidak dibangun di lereng bukit
yang tenang dan nyaman, melainkan di tengah permukiman penduduk yang selalu
sibuk. Kadang-kadang bahkan terasa amat bising. Di saat-saat mereka berdoa pun,
saat yang memerlukan suasana hening agar doa mereka tulus keluar dari hati yang
khusyuk, kebisingan tetap berjalan dan tetap mengganggu.
Resi Baratwaja, pemimpin padepokan itu, berpendapat bahwa ia telah
bertindak tepat membangun padepokan di situ. Baginya, Rumah Tuhan tak boleh
jauh terpisah dari kehidupan. Rumah Tuhan tak dibangun buat Tuhan itu sendiri,
melainkan buat “anak-anak-Nya”. Jadi, mana mungkin dibangun jauh dari mereka ?
Tetapi, para cantrik berpendapat lain. Benar bahwa hawa pemujaan kepada
Tuhan akan berpengaruh baik bagi masyarakat sekitar. Namun kebisingan yang
ditimbulkan oleh tetangga terdekatnya, si pandai besi itu, membuat para cantrik
naik pitam.
‘Sang Maha Yogi,” kata seorang cantrik suatu hari, “sekali dua kali aku
sabar menghadapi keberengsekan si pandai besi. Tapi lama-lama kesabaranku
menipis. Kesabaran ada batasnya Yang Mulia.”
“Kau benar,” kata sang resi kalem.
“Karena itu, jika Yang Mulia
mengizinkan, saya bisa membungkam si pandai besi itu,” kata cantrik kemudian. Ia
bangga mendapat dukungan sang Maha Yogi.
“Jangan. Kita harus sabar,” kata sang resi
“Sampai kapan? Saya yakin kesabaran sang Maha Yogi sendiri ada batasnya,”
sahut cantrik itu lagi. “Kita tak mau terus menerus dilecehkan orang.”
Sekali lagi kau benar. Tapi lupakah kau bahwa kita berdoa itu artinya
kita sedang bicara tentang cinta, dan dengan bahasa cinta-Nya pula? Kita sedang
melapor bahwa kita taat, tunduk dan patuh semata karena cinta kita pada-Nya.
Kau pikir, layakkah kita lapor tentang cinta kita pada-Nya tetapi diam-diam, di
luar itu semua, kita membenci, bahkan menganiaya ‘anak-anak’-Nya? Cinta macam
apa jadinya, yang kita bicarakan itu?’ sahut sang resi dengan tetap sabar dan
jelas tampak kearifannya.
Dan si cantrik pun diam seribu bahasa.
Harus diakui, diam-diain kita memiliki standar kita sendiri mengenai
cinta. Dan tiap diri di antara kita pun diam-diam punya caranya sendiri dalam
mewujudkan makna cinta itu.
Di dalam lagu-lagu Melayu kita, cinta selalu berarti tuntutan. “Berilah
daku senyummu” misalnya. Atau berikan daku harapan”. Pendeknya cinta bukan
sebuah pengorbanan. Cinta pada seseorang pada dasarnya adalah potret egoisme:
cinta pada bayangan diri sendiri, yang terpantu pada sikap, jiwa dan perilaku
orang yang kita cintai. Dalam lagu-lagu Melayu kita, dengan kata lain, cinta
adalah potret Narsisus, tokoh legenda Yunani itu. Minimal, jelas tak pemah
terpantul corak yang altruistik sifatnya. Hal ini, mungkin, karena cinta di
dalam lagu-lagu Melayu kita, seperti pernah disebut oleh Sanento Yuliman, adalah
pemilikan. “Kau milikku, kau pujaanku’ misalnya. Cinta selalu bersifat
possesive.
Menarik bahwa cuma dalam lagu anak-anak cinta yang berdimensi pengorbanan
muncul. Tapi itu pun karena yang disebut adalah cinta ibu kepada anaknya: cinta
yang sepanjang masa, dan Bahwa cinta macam itu sungguh ikhlas memberi, tanpa
harapan kembali sebagaimana matahari yang menghangatkan kita dan tak pernah
menarik bayaran dan kita.
Apakah ini berarti bahwa anak-anak harus kita ajari cinta yang tulus itu
dan kita sendiri, yang sudah dewasa, tak perlu bicara dan berbuat dengan
ketulusan seperti itu? Corak pendidikan macam apa jadinya, yang kita berikan
pada anak-anak kita? Siapkah kita dicap sebagai munafik, oleh anak-anak kita
sendiri yang sudah bisa bersikap kritis?
Dalam agama pun, cinta lebih sering kita lihat sebagai sikap menuntut.
Atau mungkin mengemis terus-menerus dan bukannya tampil sebagai pengorbanan
yang tulus.
“Berilah saya ya Tuhan, rezeki yang banyak, pangkat yang tinggi, derajat
yang luhur” misalnya. Dengan begini, sebenarnya diam-diam kita selalu ‘merampok
Tuhan yang kita cintai dan mencintai kita itu.
Dalam takaran” pribadi, mungkin itu tidak salah. Tapi jika hal ini jadi
tatanan sosial yang baku,
tidakkah kita takut akan dampaknya, yaitu menjadikan kita malas, fatalistis dan
kurang gairah dalam usaha? Tidakkah sebenarnya Tuhan pun menyuruh agar, menurut
Iqbal, kita jadi arsitek bagi nasib kita sendiri?
Dalam hidup kita sehari-hari, kita menyaksikan bagaimana ruwetnya persoalan
tentang anak kita harus menyatakan cinta kita
kepada Tuhan. Memang kita bicara tentang cinta dengan bahasa cinta
sebagainiana kita pahami. Tak menjadi soal bahwa dengan begini memanifestasi
cinta itu lalu beraganti. Tak menjadi soal bahwa keragaman “warna” cinta itu
inuncul karena tafsir dan penalaran kita berbeda.
Perbedaan itu, dengan kata lain, sah, boleh, dan baik-baik saja karena
kita sadar akan keterbatasan kita. Pluralisme macam itu mungkin baik, sejauh
kita tidak mengklaim bahwa kitalah yang paling benar. Wama-warni tak jadi soal
asal di antara kita tak ada tudingan bahwa yang tak seperti kita berarti sesat
dan cuma kita yang benar.
Pendek kata, mekarlah seribu ‘bunga” tafsir. Berkembanglah sejuta makna
sejauh kita tetap sadar bahwa makna atau tafsir yang kita pegang cuma salah
satu dan banyak kemungkinan yang benar. Bahkan, satu dari sekian kemungkinan
yang salah.
Dalam agama tak
ada yang diberi hak istimewa oleh Tuhan untuk bertindak sebagai hakim agar
mengadili pihak lain yang tak sama paham cintanya dengan kita. Derajat kita
sama. Kita sama-sama pesakitan yang sedang menunggu pengadilan Tuhan.
Maka, mendengar
Ridwan Saidi dan kelompoknya “mengadili” Nurcholish Madjid, saya jadi
bertanya-tanya: kalau benar mereka sedang berusaha mencintai Tuhan dengan
caranya sendiri, mengapa pada saat yang sama mereka “memusuhi salah satu dari
“anak-anak”-Nya?