Oleh : Zaenal Arif
Pendahuluan
Setelah
terbitnya Journal of Transpersonal Psychology pada tahun 1969 disiplin ilmu
psikologi mulai mengarahkan perhatian pada dimensi spiritual manusia.
Penelitian mengenai gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman
mistis, exctasy, kesadaran ruhaniah, pengalanan transpersonal, aktualisasi
transpersonal dan pengalaman transpersonal mulai dikembangkan. Aliran psikologi
yang memfokuskan diri pada kajian-kajian transpersonal menamakan dirinya aliran
psikologi transpersonal dan memproklamirkan diri sebagai aliran ke empat
setelah psikoanalisis, beliaviourisme dan humanistik. Psikologi transpersonal
memfokuskan diri pada bentuk-bentuk kesadaran manusia, khususnya taraf kesadaran
ASC (altered states of consciousness).
Pada pentengahan
abad 20, praktek meditasi dan tradisi agama dan spiritual di Timur mulai banyak
dipelajari dan dipraktekan di Barat. Jutaan orang Amerika dan Eropa
melaksanakan meditasi. Salah satu bentuk meditasi yang banyak diminati adalah
Transcendental Meditation (TM) yang dikembangkan oleh Mabarish Mahes Yogi. Di
dalam kajian psikologi, meditasi didefinisikan sebagai usaha membatasi
kesadaran pada satu objek stimulasi yang tidak berubah pada waktu tertentu
(Ornstein, 1986). Pada meditasi transendental kesadaran pada objek meditasi ini
ditujukan kepada Tuhan penguasa seluruh alam, yang meliputi segala sesuatu, dan
keberadaanya ada di mana saja, sehingga meditasi transendental ini banyak digunakan
sebagai cara untuk lebih mendekatkan diri kepadaTuhan atau penyatuan transendental dengan Tuhan (Subandi,
2002).
Menurut Haryanto
(2001), zikir sebenarnya merupakan salah satu dari bentuk meditasi
transendental. Ketika seseorang khusyuk, objek pikir atau stimulas tertuju pada
Allah Subbanahu Wa Ta’ala (dzikrullah) disini ada unsur transender yaitu
mengingat akan Allah, ada merasakan adanya Allah serta ada persepsi akar
kedekatan dengan Allah. Patrap merupakan zikir sekaligus meditasi transendenta
yang ditandai dengan proses komunikasi dengan Allah, penguasa alam, yang
meliputi segala sesuatu, secara intensi dan tidak terputus. Dengan patrap ini
seseorang akan diantarkan untuk selalu berzikir kepada Allah yang tidak hanya
sekedar ucapan namun lebih dari itu, yaitu dengan kesadaran yang benar-bena
sadar, dengan totalitas baik kognitif, emosi, bahkan konatifnya sehingga pada
kondisi tertentu dapat mencapai altered states of consciousness (tingkat
kesadaran yang lebih tinggi dari biasanya). Kondisi zikir meditasi di setiap
keadaan akar menimbulkan pengalaman-pengalaman transendental, yang oleh Spilka
(dalam Subandi, 2002) memiliki ciri: pertama noetik, yaitu bahwa pengalaman
transenden mampu menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan baru yang valid Kedua
ineffable, pengalamannya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ketiga holy
keterkaitan komunikasi denganTuhan, keempat positive effect, pengalaman tersebut
menimbulkan perasaan yang positif. Kelima paradoxal, kadang berlawanan dengan kenyataan
hidup sehari-hari, dan terakhir keenam, timeless and spaceless, orang merasa
terlepas dan dimensi ruang dan waktu.
Dalam tulisan ini,
penulis berusaha untuk menguraikan beberapa fenomena pelaku patrap kaitannya
dengan kajian psikologi sehingga diharapkan dari uraian singkat ini meditasi
zikir /patrap tidak dianggap sebagai suatu pelajaran ilmu klenik, atau sesuatu
yang berbau mistis, namun sensasi yang muncul dalari pelaku patrap adalah
sesuatu yang wajar, ilmiah dan bersifat universal, artinya siapapun pelakunya
baik islam, Kristen, Budha, atau tidak beragama sekali pun akan memiliki
fenomena yang sama dan semua akan mengalami pengalaman transendental bila dilakukan
dengan sungguh-sungguh.
Penjelasan
tentang transendensi
Isu yang
sekarang berkembang di dunia psikologi adalah munculnya spiritual quotient.
Perkembangan ini tidak hanya diikuti oleh dunia psikologi saja tetapi Juga oleh
masyarakat Iuas yang haus akan kedamaian, ketentraman dan jauh dari sentuhan
spiritual. Menurut Zohar (2000), spiritual quotient adalah kecerdasan yang
bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar
ego atau jiwa sadar
Kecerdasan
spiritual (SQ) mengalahkan peranan kecerdasan intelektuai (IQ) dan kecerdasan
emosi(EQ). Berpikir tidak hanya melibatkan otak saja (10) tapi juga
mempergunakan emosi (EQ) serta, berpikir juga dengan kesadaran, makna, nilai,
semangat dan visi (SQ). Kemampuan Q mirip dengan cara kerja dari komputer
bahkan kemampuan otak manusia lebih canggih dibanding komputer, namun computer tidak
memiliki kemampuan EQ seperti manusia yang bisa merespons input dengan tangis,
tawa ataupun expresi emosi lainnya. Komputer juga tidak mampu untuk menanyakan
pada dirinya mengapa dia diciptakan, mengapa dia harus melakukan perintah - perintah
yang diterimanya. Hal-hal inilah yang menjadi alasan mengapa kecerdasan
spiritual lebih tinggi dan kecerdasan yang lain.
Kecerdasan
spiritual ini tidak hanya dimiliki oleh orang beragama, orang awam agama, bila
dia memuliki kemampuan dan kemauan, maka akan memiliki tingkat spinitualitas
yang tinggi. Dermikian juga sebaliknya, bila oang yang beragama hanya
memperhatikan masalah eksoterik (ritualistik) tidak isoterik (kehakikatan) maka
dia akan memiliki spiritualitas yang rendah. Kemampuan mentransendenkan dirilah
yang akan menentukan seseorang memiliki spiritualitas yang tinggi atau rendah.
Menurut Zohar (2000), transenden merupakan sesuatu yang membawa kita mengatasi
(beyond) masa kini, mengatasi rasa suka atau duka, bahkan mengatasi diri kita
pada saat ini. Ia membawa kita melampaui batas-batas pengetahuan dan pengalaman
kita, serta menempatkan pengetahuan dan pengalaman kita ke dalam konteks yang
lebih luas. Transendensi memberikan kesadaran akan sesuatu yang luar biasa dan
tak terbatas, baik sesuatu itu berada pada diri kita sendiri maupun dunia di
sekitar kita
Kesadaran
transendensi ini sesuai dengan teori medan
kuantum yang menyebutkan bahwa manusia, meja, kursi, hewan, langit dan alam
semesta merupakan pola energi yang dinamik yang berada di antara energi yang
diam dan tak tereksitasi (hampa kuantum). Hampa kuantum ini tidak memiliki
sifat yang dapat dirasakan atau diukur secara langsung. Sifat-sifat yang dapat
dirasakan atau diukur tentulah merupakan eksitasi dan hampa kuantum, bukan
hampa kuantum itu sendiri. Fenomena hampa kuantum ini dapat dialami para
meditator yang mendapatkan pencerahan dalam meditasinya.
Penjelasan
mengenai binding problem sebagai sebuah osilasi saraf sinkron
Binding problem
merupakan pengalaman yang banyak dialami oleh mereka yang melakukan meditasi.
Perasaan menyatu dengan alam, merasa diri memiliki keseimbangan dengan sekelilingnya.
Perasaan ini diikuti oleh perasaan tenang dan meningkatnya ESP (extrasensory perception).
Contoh sederhana dan fenomena ini
adalah ketika
sedang mengendarai mobil, maka seolah-olah diri kita adalah mobil tersebut.
Saat mobil menyerempet dinding, maka diri kita yang merasakan seolah- olah
sakit. Dalam kondisi yang lebih lanjut, seseorang akan merasa bersatu dan kadang
terdapat persepsi bahwa dirinya tidak ada atau hilang (no mind/zeromind). Fenomena
binding problem dapat dijelaskan dengan terjadinya peristiwa saraf, yaitu
adanya osilasi pada saraf.
Singer (dalam
Zohar 2000) mengungkapkan dalam penelitiannya, bahwa bagian otak selalu
mengeluarkan sinyal listrik yang terbaca melalui EEG (electroence phalograph) yang
berosilasi dengan frekwensi yang berbeda-beda. Sehingga ketika seseorang mempersepsi
suatu benda, misalnya sebuah gelas, maka sel-sel saraf dibagian tertentu akan
terlibat dalam proses osilasi secara seragam dengan frekwensi 35-45Hz. Osilasi
sinkron ini menyatukan respons cerapan yang berbeda-beda terhadap gelas
tersebut yaitu bentuknya, warnanya, tingginya dan sebagainya,dan hal ini akan
memberikan pengalaman tentang benda yang utuh dan solid.
Penemuan Singer ini
diperkuat dengan fenomena yang terjadi pada meditator yang menjadi subjek
penelitiannya. Praktik-praktik meditasi, seperti meditasi transendental, yoga
atau yang lainnya, ketika meditasi duduk tegak, kemudian mulai memusatkan
perhatian pada objek pikir tertentu selama beberapa menit. Karena tidak ada
gangguan otak selama meditasi, otak menjadi tenang dan meditator menjadi sangat
rileks. Pada tahap selanjutnya pemeditasi bergerak ke tahap kesadaran yang
kosong dan pemikiran atau isi. Kadang meditator mampu secara sadar mendalami
pandangan-pandangan tertentu secara lebih dalam. Keadaan ini membawa
meningkatnya gelombang otak koheren pada frekwensi 40Hz, pengalaman ini
dituturkan oleh meditator tentang isi kesadaran yang memasuki keutuhan atau
unity yang diiringi dengan menyatunya osilasi sel saraf otak. Kecerdasan unitif
(unitive thinking) inilah yang menurut Zohar (2000) merupakan dasar dari
kecerdasan spiritual. Munculnya gejala penyatuan (merging) di mana orang merasa
bersatu dengan objek pikir meditasi merupakan suatu bentuk yang oleh Maslow
disebut sebagai peak experience.
Penelitian yang
dilakukan Hirai (dalam, Subandi 2002) menemukan, bahwa adanya perubahan otak
dibagi menjadi empat tahap. Pertama, dalam lima puluh menit gelombang otak berubah dari
betha ke alpha. Kedua, gelombang otak makin halus. Sekitar 50% gelombang alpha
muncul ketika subjek menutup mata. Ketiga, gelombang otak semakin lambat dan
halus. Dan keempat gelombang otak menjadi gelombang tetha yaitu gelombang yang
pada umumnya muncul pada saat tidur atau mimpi. Terakhir perubahan makin halus
dan menjadi gelombang delta yang sangat lambat. Ditemukan juga bahwa makin lama
seorang berlatih meditasi, makin halus gelombang otaknya. Perubahan-perubahan
gelombang otak ini merupakan indikasi dari adanya perubahan tingkat kesadaran
dan sangat erat berhubungan dengan pengalaman-pengalaman transendental.
Penelitian
Pare-Unas (dalam Zohar, 2000) mengenai osilasi saraf 40Hz menunjukkan bahwa
kesadaran merupakan sifat dari intrinsi otak dan kesadaran itu sendiri adalah
proses yang transenden, yakni kesadaran yang menghubungkan kita dengan realitas
yang jauh lebih dalam dan lebih kaya dari pada sekedar hubungan dan vibrasi
beberapa sel sarat
Terjadinya trance ketika
meditasi berlangsung
Hal yang masih
menjadi perdebatan dalam kalangan ahli psikologi adalah apakah trance itu
dilakukan dengan sadar atau tidak. Sebagian ahli berpendapat bahwa trance itu
tidak sadar karena beberapa penelitian membuktikan bahwa mereka yang sedang
mengalami trance tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi pada
saat trance, yang diajukan peneliti setelah kondisi trance selesai. Namun
sebagian ahli yang berpendapat bahwa trance itu bisa dicapai dengan sadar dengan
alasan bahwa proses kesadaran yang terjadi pada saat trance adalah terdesaknya
kesadaran sehingga muncul kesadaran lain (Kartoatmojo, 1995). Kemudian jika
kesadaran tersebut terdesak dan orang tersebut mampu mempertahankan
kesadarannya, maka apa yang terjadi ketika dirinya trance akan diketahuinya dan
dia tetap sadar, sehingga seolah-olah memiliki dua bentuk kesadaran. Hal ini
seperti terjadi pada kasus hipnosis bila si suyet (terhipnosis) tidak bersedia
menyerahkan dirinya secara total pada penghipnosisnya maka hipnosa tidak akan
terjadi dan suyet tidak mampu dipengaruhi oleh penghipnosis.
Jadi munculnya
fenornena-fenomena transpersonal pada saat trance sangat tergantung dan apa
yang diinginkan, dipikirkan, dan dibayangkan. Misalnya seorang yang saat trance
mereka mengharapkan, membayangkan, memikirkan sesuatu, maka dia akan
mengkonsentrasikan pada objek pikir tersebut. Misalnya jika mengkonsentrasikan
kepada titik, maka akan muncul fenomena seperti berada di suatu tempat yang tinggi,
memasuki lorong yang panjang, mendapatkan cahaya sangat terang benderang
kemudian dia masuk total dan mengikuti terus fenomena yang muncul maka akan
terjadi peristiwa trance yang tidak disadari. Namun bagi mereka yang meniatkan
dirinya untuk mendekatkan, memikirkan, merasakan Allah maka fenomena yang
muncul seperti perasaan dekat, kesatuan dengan Allah, dan terjadinya proses
binding dan pada saat trance orang tersebut tetap sadar sebab dia tidak masuk
pada fenomena yang muncul tapi tetap teguh pada objek pikir Allah.
Proses
terjadinya trance seringkali disertai dengan gerakan-gerakan yang tidak beraturan
entah itu disadari ataupun tidak. Gerakan ini disebabkan karena otak
mendapatkan rangsangan yang sangat kuat yang selama ini rangsangan itu belum
pernah dikenal sebelumnya. Rangsangan yang kuat ini mirip dengan penderita
epilepsi ketika dia mendapatkan serangan pada otaknya. Serangan tersebut
disebabkan oleh adanya ledakan aktivitas listrik di luar batas normal di area
otak tertentu dan menyebabkan bagian lobus temporalis mengalami pengalaman - pengalaman
spiritual. Fenomena ini diperkuat dengan penelitian Pesinger (dalam Zohar,
2000) dengan memberikan rangsangan pada otak bagian lobus temporalis maka orang
tersebut akan mengalami pengalaman spiritual.
Selama
berlangsungnya trance terjadi perubahan-perubahan pernafasan, sikap duduk agak
terarah ke belakang, kadang mata terbelalak yang hitam pindah ke atas. Pada
kondisi ini orang yang bersangkutan terdapat gejala pengendapan kesadaran.
Penurunan ini diikuti dengan gejala gerak-gerak. Hal ini bisa dicontohkan saat
seseorang akan memasuki tidur terdapat gejala tarikan otot, goncangan-goncangan
pada tangan dan kaki atau seluruh tubuh (Kartoatmodjo, 1995).
Beberapa aliran
spiritual menggunakan trance untuk meningkatkan kesadaran dan meningkatkan
spiritualitas, serta pemusatan energi tenaga dalam. Seperti yang dilakukan oleh
lembaga tenaga dalam HI mereka menggunakan metode getaran untuk membangkitkan
energi yang tersimpan. Getaran fisik yang terjadi, menurut aliran tersebut,
dilakukan untuk memancing dan mempercepat tercapainya kondisi beresonansi (ikut
bergetar) fisik terhadap rohani sehingga membentuk getaran yang selaras.
Keselarasan getaran ruhani dan fisik ini menghasilkan penyerapan, pengolahan
dan polarisasi (pemusatan) energi,sehingga energi yang dihasilkan atau dihimpun
akan jauh lebih besar, lebih padat dan lebih terkonsentrasi serta mempersingkat
waktu yang diperlukan hingga 14 kali lebih cepat dari pada metode lainnya.
Pada laku patrap
dengan metode gerak saat menyambungkan diri dengan Allah berarti telah
merangsang saraf yang berada di lobus temporalis, yang oleh beberapa ahli
disebut dengan god spot, karena ketika lobus temporalis ini disodori hal-hal
yang bersifat spiritual akan menunjukkan aktivitasnya. Semakin kencang dan kuat
rangsangan terhadap saraf di lobus temporalis in, maka loncatan listrik yang
terjadi juga sernakin besar. Kondisi yang tidak stabil ini mengakibatkan
goncangan flsik yang berupa kejang, dan gerakan-gerakan kasar serta tidak
beraturan, di sinilah terjadi trance secara sadar. Goncangan fisik yang terjadi
tanpa kehendak patrapis akan menimbulkan pemahaman tersendiri bahwa dia
memiliki kesadaran lain selain kesadaran fisik yang dipakai selama ini Loncatan
kesadaran ini membuka wawasan yang sangat luas bagi pelaku, baik secara
kognitif maupun emosinya. Disinilah terjadinya peningkatan kesadaran atau
munculnya altered states of consciousness dan munculnya kesadaran transendensi.
Ketika seseorang
sudah memunculkan getaran tersebut maka proses meningkat yaitu kehendaknya
digunakan untuk mengikuti kehendak yang lebih berkehendak, sehingga kesadaran
diri dan kesadaran transendensi akan semakin meningkat. Proses mengikut ini
akan semakin menurunkan rangsangan terhadap lobus temporalis, loncatan listnik
di otak pun juga akan menurun, sehingga akan menyebabkan seseorang akan berada pada kondisi
relaxed alerteness atau kondisi relaks yang waspada. Kondisi ini ditandai
dengan munculnya gelombang alfa pada otak. Selanjutnya, bila kondisi ini
diteruskan seseorang akan berada pada kondisi hening, dan gelombang pada otak
semakin halus pada fase tertentu akan berada gelombang deltha dan pelaku akan
mengalami fenomena ecstasy.
Beberapa waktu
setelah melakukan patrap maka informasi yang dihunjamkan kuat akan terus
terbawa dalam keadaan duduk, tidur, berbaring. Informasi tentang kondisi dan
suasana transenden akan tersimpan tidak hanya dalam short term memory (ingatan
jangka pendek) tapi akan tersimpan dalam long term memory (ingatan jangka
panjang).
Beberapa
respons fisiologis selama proses Patrap (Uzikir)
1. Relaksasi
Benson (2000)
menyebutkan bahwa ketika seseorang meditasi, secara otomatis akan muncul respon
relaksasi. Respons ini terjadi karena menurunnya aktivitas otak sehingga
mempengaruhi kerja fisik yang berupa ketegangan-ketegangan. Kondisi rileks ini
sangat bermanfaat bagi kesehatan karena selain bisa digunakan kondisi istirahat
juga bisa digunakan untuk mengurangi keluhan-keluhan sakit fisik (Subandi,
2002). Kondisi rileks ini akan memicu bekerjanya otak untuk menghasilkan
endegenous morphin yaitu suatu zat penenang yang cara bekerjanya seperti efek
morphin, sehingga menimbulkan kondisi tenang.
2. Munculnya
energi yang besar dan menyehatkan
Menurut Supardan
(1983), manusia memiliki unsur kimia tubuh (body chemistry) yang bernama ATP
(Adenosine Tn Phosphate). ATP ini dapat berubah menjadi energi melalui proses
metabolisme tubuh. Secara sederhana dapat ditulis sbb:
02 + ATP +
Glikogen Energi
Dalam proses
perangsangan, energi dan hasil reaksi ATP memiliki proses tertentu. Ketika
oksigen dihisap, secara normal oksigen hanya digunakan sebatas membantu
lancarnya peredaran darah, melancarkan metabolisme tubuh dan mensuplai otak
dengan kadar yang cukup. Oksigen juga merangsang energi yang ada dalam tubuh
untuk menghidupkan aktivitas tubuh yang sempit sekali, hanya cukup untuk
menggerakan tubuh secara normal. Tetapi lain halnya dengan pengambilan oksigen
secara khusus dalam latihan tenaga dalam. Untuk membangkitkan tenaga dalam,
diperlukan oksigen yang banyak dan efektif. Satu-satunya jalan ialah dengan
cara mengubah pernafasan biasa menjadi pernafasan spesial, yaitu dengan
mengoptimalkan oksigen yang masuk jangan sampai terbuang percuma sedangkan
untuk bagian lain harus seimbang. Hal ini dapat terjadi secara otomatis ketika
seseorang bermeditasi. Organ pernapasan akan bekerja dengan sendiri untuk
pengambflan napas secara teratur dan efektif. Energi yang dihasilkan oleh ATP
dalam keadaan sehari-hari berupa panas tubuh, membantu lancarnya penyaluran
adrenalin, menghidupkan kimia tubuh untuk membentuk kekebalan tubuh (zat
antibodi), menghidupkan aktivitas pencernaan dan menghidupkan semua aktivitas
organ dalam tubuh manusia.
3. Fenomena
terhambatnya rasa sakit
Pada saat
seseorang bermeditasi maka perhatian penuh pada objek meditasinya. Perhatian
yang penuh ini menyebabkan seseorang kehilangan rangsang inderanya. Fenomena ini
sering disebut dengan self hypnosis, sebab dengan cara ini seseorang dapat
menghipnosa dirinya sendiri sehingga ketika meditasi berlangsung dia tidak
merasakan apapun meskipun tubuhnya kena rangsangan yang menyakitkan. Teori kontrol
pintu gerbang (gate control theory) mengatakan, bahwa hilangnya rasa sakit
ketika seseorang bermeditasi terjadi karena adanya rangsangan dan dalam yang
lebih besar dibanding rangsangan dari luar tersebut yang menghambat rangsang
tersebut masuk ke otak. Rangsáng yang lebih besar pada saat seseorang
bermeditasi adalah adanya ASC (altered states of consciousness). Kondisi ini
menimbulkan perasaan damai, tenang, dan menyenangkan sehingga menghambat
rangsang yang masuk pada otak (Subandi, 2002).
Penutup
Kajian-kajian
psikologi yang lebih mendalam tentang transendensi masih sangat kurang.
Kebanyakan penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengaruh meditasi
terhadap kesehatan dan perubahan kepribadian dan negatif ke positif. Luasnya
lahan pengalaman transendensi dan sedikitnya orang yang mengalaminya menjadikan
salah satu penyebab kajian-kajian transendensi bergerak lambat. Mudah-mudahan
dengan sedikit ulasan ini akan lebih meningkatkan praktik-praktik laku
transendensi karena manfaat yang didapatkannya cukup besar, serta tidak dianggap
sebagai perilaku klenik/ perdukunan dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar