Rabu, 24 Desember 2014

DZIKIR DALAM TINJAUAN PSYKOLOGI



Oleh : Zaenal Arif

Pendahuluan
Setelah terbitnya Journal of Transpersonal Psychology pada tahun 1969 disiplin ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatian pada dimensi spiritual manusia. Penelitian mengenai gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, exctasy, kesadaran ruhaniah, pengalanan transpersonal, aktualisasi transpersonal dan pengalaman transpersonal mulai dikembangkan. Aliran psikologi yang memfokuskan diri pada kajian-kajian transpersonal menamakan dirinya aliran psikologi transpersonal dan memproklamirkan diri sebagai aliran ke empat setelah psikoanalisis, beliaviourisme dan humanistik. Psikologi transpersonal memfokuskan diri pada bentuk-bentuk kesadaran manusia, khususnya taraf kesadaran ASC (altered states of consciousness).

Pada pentengahan abad 20, praktek meditasi dan tradisi agama dan spiritual di Timur mulai banyak dipelajari dan dipraktekan di Barat. Jutaan orang Amerika dan Eropa melaksanakan meditasi. Salah satu bentuk meditasi yang banyak diminati adalah Transcendental Meditation (TM) yang dikembangkan oleh Mabarish Mahes Yogi. Di dalam kajian psikologi, meditasi didefinisikan sebagai usaha membatasi kesadaran pada satu objek stimulasi yang tidak berubah pada waktu tertentu (Ornstein, 1986). Pada meditasi transendental kesadaran pada objek meditasi ini ditujukan kepada Tuhan penguasa seluruh alam, yang meliputi segala sesuatu, dan keberadaanya ada di mana saja, sehingga meditasi transendental ini banyak digunakan sebagai cara untuk lebih mendekatkan diri kepadaTuhan atau  penyatuan transendental dengan Tuhan (Subandi, 2002).

Menurut Haryanto (2001), zikir sebenarnya merupakan salah satu dari bentuk meditasi transendental. Ketika seseorang khusyuk, objek pikir atau stimulas tertuju pada Allah Subbanahu Wa Ta’ala (dzikrullah) disini ada unsur transender yaitu mengingat akan Allah, ada merasakan adanya Allah serta ada persepsi akar kedekatan dengan Allah. Patrap merupakan zikir sekaligus meditasi transendenta yang ditandai dengan proses komunikasi dengan Allah, penguasa alam, yang meliputi segala sesuatu, secara intensi dan tidak terputus. Dengan patrap ini seseorang akan diantarkan untuk selalu berzikir kepada Allah yang tidak hanya sekedar ucapan namun lebih dari itu, yaitu dengan kesadaran yang benar-bena sadar, dengan totalitas baik kognitif, emosi, bahkan konatifnya sehingga pada kondisi tertentu dapat mencapai altered states of consciousness (tingkat kesadaran yang lebih tinggi dari biasanya). Kondisi zikir meditasi di setiap keadaan akar menimbulkan pengalaman-pengalaman transendental, yang oleh Spilka (dalam Subandi, 2002) memiliki ciri: pertama noetik, yaitu bahwa pengalaman transenden mampu menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan baru yang valid Kedua ineffable, pengalamannya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ketiga holy keterkaitan komunikasi denganTuhan, keempat positive effect, pengalaman tersebut menimbulkan perasaan yang positif. Kelima paradoxal, kadang berlawanan dengan kenyataan hidup sehari-hari, dan terakhir keenam, timeless and spaceless, orang merasa terlepas dan dimensi ruang dan waktu.

Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menguraikan beberapa fenomena pelaku patrap kaitannya dengan kajian psikologi sehingga diharapkan dari uraian singkat ini meditasi zikir /patrap tidak dianggap sebagai suatu pelajaran ilmu klenik, atau sesuatu yang berbau mistis, namun sensasi yang muncul dalari pelaku patrap adalah sesuatu yang wajar, ilmiah dan bersifat universal, artinya siapapun pelakunya baik islam, Kristen, Budha, atau tidak beragama sekali pun akan memiliki fenomena yang sama dan semua akan mengalami pengalaman transendental bila dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Penjelasan tentang transendensi
Isu yang sekarang berkembang di dunia psikologi adalah munculnya spiritual quotient. Perkembangan ini tidak hanya diikuti oleh dunia psikologi saja tetapi Juga oleh masyarakat Iuas yang haus akan kedamaian, ketentraman dan jauh dari sentuhan spiritual. Menurut Zohar (2000), spiritual quotient adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar
Kecerdasan spiritual (SQ) mengalahkan peranan kecerdasan intelektuai (IQ) dan kecerdasan emosi(EQ). Berpikir tidak hanya melibatkan otak saja (10) tapi juga mempergunakan emosi (EQ) serta, berpikir juga dengan kesadaran, makna, nilai, semangat dan visi (SQ). Kemampuan Q mirip dengan cara kerja dari komputer bahkan kemampuan otak manusia lebih canggih dibanding komputer, namun computer tidak memiliki kemampuan EQ seperti manusia yang bisa merespons input dengan tangis, tawa ataupun expresi emosi lainnya. Komputer juga tidak mampu untuk menanyakan pada dirinya mengapa dia diciptakan, mengapa dia harus melakukan perintah - perintah yang diterimanya. Hal-hal inilah yang menjadi alasan mengapa kecerdasan spiritual lebih tinggi dan kecerdasan yang lain.

Kecerdasan spiritual ini tidak hanya dimiliki oleh orang beragama, orang awam agama, bila dia memuliki kemampuan dan kemauan, maka akan memiliki tingkat spinitualitas yang tinggi. Dermikian juga sebaliknya, bila oang yang beragama hanya memperhatikan masalah eksoterik (ritualistik) tidak isoterik (kehakikatan) maka dia akan memiliki spiritualitas yang rendah. Kemampuan mentransendenkan dirilah yang akan menentukan seseorang memiliki spiritualitas yang tinggi atau rendah. Menurut Zohar (2000), transenden merupakan sesuatu yang membawa kita mengatasi (beyond) masa kini, mengatasi rasa suka atau duka, bahkan mengatasi diri kita pada saat ini. Ia membawa kita melampaui batas-batas pengetahuan dan pengalaman kita, serta menempatkan pengetahuan dan pengalaman kita ke dalam konteks yang lebih luas. Transendensi memberikan kesadaran akan sesuatu yang luar biasa dan tak terbatas, baik sesuatu itu berada pada diri kita sendiri maupun dunia di sekitar kita

Kesadaran transendensi ini sesuai dengan teori medan kuantum yang menyebutkan bahwa manusia, meja, kursi, hewan, langit dan alam semesta merupakan pola energi yang dinamik yang berada di antara energi yang diam dan tak tereksitasi (hampa kuantum). Hampa kuantum ini tidak memiliki sifat yang dapat dirasakan atau diukur secara langsung. Sifat-sifat yang dapat dirasakan atau diukur tentulah merupakan eksitasi dan hampa kuantum, bukan hampa kuantum itu sendiri. Fenomena hampa kuantum ini dapat dialami para meditator yang mendapatkan pencerahan dalam meditasinya.

Penjelasan mengenai binding problem sebagai sebuah osilasi saraf sinkron
Binding problem merupakan pengalaman yang banyak dialami oleh mereka yang melakukan meditasi. Perasaan menyatu dengan alam, merasa diri  memiliki keseimbangan dengan sekelilingnya. Perasaan ini diikuti oleh perasaan tenang dan meningkatnya ESP (extrasensory perception). Contoh sederhana dan fenomena ini
adalah ketika sedang mengendarai mobil, maka seolah-olah diri kita adalah mobil tersebut. Saat mobil menyerempet dinding, maka diri kita yang merasakan seolah- olah sakit. Dalam kondisi yang lebih lanjut, seseorang akan merasa bersatu dan kadang terdapat persepsi bahwa dirinya tidak ada atau hilang (no mind/zeromind). Fenomena binding problem dapat dijelaskan dengan terjadinya peristiwa saraf, yaitu adanya osilasi pada saraf.

Singer (dalam Zohar 2000) mengungkapkan dalam penelitiannya, bahwa bagian otak selalu mengeluarkan sinyal listrik yang terbaca melalui EEG (electroence phalograph) yang berosilasi dengan frekwensi yang berbeda-beda. Sehingga ketika seseorang mempersepsi suatu benda, misalnya sebuah gelas, maka sel-sel saraf dibagian tertentu akan terlibat dalam proses osilasi secara seragam dengan frekwensi 35-45Hz. Osilasi sinkron ini menyatukan respons cerapan yang berbeda-beda terhadap gelas tersebut yaitu bentuknya, warnanya, tingginya dan sebagainya,dan hal ini akan memberikan pengalaman tentang benda yang utuh dan solid.

Penemuan Singer ini diperkuat dengan fenomena yang terjadi pada meditator yang menjadi subjek penelitiannya. Praktik-praktik meditasi, seperti meditasi transendental, yoga atau yang lainnya, ketika meditasi duduk tegak, kemudian mulai memusatkan perhatian pada objek pikir tertentu selama beberapa menit. Karena tidak ada gangguan otak selama meditasi, otak menjadi tenang dan meditator menjadi sangat rileks. Pada tahap selanjutnya pemeditasi bergerak ke tahap kesadaran yang kosong dan pemikiran atau isi. Kadang meditator mampu secara sadar mendalami pandangan-pandangan tertentu secara lebih dalam. Keadaan ini membawa meningkatnya gelombang otak koheren pada frekwensi 40Hz, pengalaman ini dituturkan oleh meditator tentang isi kesadaran yang memasuki keutuhan atau unity yang diiringi dengan menyatunya osilasi sel saraf otak. Kecerdasan unitif (unitive thinking) inilah yang menurut Zohar (2000) merupakan dasar dari kecerdasan spiritual. Munculnya gejala penyatuan (merging) di mana orang merasa bersatu dengan objek pikir meditasi merupakan suatu bentuk yang oleh Maslow disebut sebagai peak experience.

Penelitian yang dilakukan Hirai (dalam, Subandi 2002) menemukan, bahwa adanya perubahan otak dibagi menjadi empat tahap. Pertama, dalam lima puluh menit gelombang otak berubah dari betha ke alpha. Kedua, gelombang otak makin halus. Sekitar 50% gelombang alpha muncul ketika subjek menutup mata. Ketiga, gelombang otak semakin lambat dan halus. Dan keempat gelombang otak menjadi gelombang tetha yaitu gelombang yang pada umumnya muncul pada saat tidur atau mimpi. Terakhir perubahan makin halus dan menjadi gelombang delta yang sangat lambat. Ditemukan juga bahwa makin lama seorang berlatih meditasi, makin halus gelombang otaknya. Perubahan-perubahan gelombang otak ini merupakan indikasi dari adanya perubahan tingkat kesadaran dan sangat erat berhubungan dengan pengalaman-pengalaman transendental.

Penelitian Pare-Unas (dalam Zohar, 2000) mengenai osilasi saraf 40Hz menunjukkan bahwa kesadaran merupakan sifat dari intrinsi otak dan kesadaran itu sendiri adalah proses yang transenden, yakni kesadaran yang menghubungkan kita dengan realitas yang jauh lebih dalam dan lebih kaya dari pada sekedar hubungan dan vibrasi beberapa sel sarat


 

Terjadinya trance ketika meditasi berlangsung
Hal yang masih menjadi perdebatan dalam kalangan ahli psikologi adalah apakah trance itu dilakukan dengan sadar atau tidak. Sebagian ahli berpendapat bahwa trance itu tidak sadar karena beberapa penelitian membuktikan bahwa mereka yang sedang mengalami trance tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi pada saat trance, yang diajukan peneliti setelah kondisi trance selesai. Namun sebagian ahli yang berpendapat bahwa trance itu bisa dicapai dengan sadar dengan alasan bahwa proses kesadaran yang terjadi pada saat trance adalah terdesaknya kesadaran sehingga muncul kesadaran lain (Kartoatmojo, 1995). Kemudian jika kesadaran tersebut terdesak dan orang tersebut mampu mempertahankan kesadarannya, maka apa yang terjadi ketika dirinya trance akan diketahuinya dan dia tetap sadar, sehingga seolah-olah memiliki dua bentuk kesadaran. Hal ini seperti terjadi pada kasus hipnosis bila si suyet (terhipnosis) tidak bersedia menyerahkan dirinya secara total pada penghipnosisnya maka hipnosa tidak akan terjadi dan suyet tidak mampu dipengaruhi oleh penghipnosis.

Jadi munculnya fenornena-fenomena transpersonal pada saat trance sangat tergantung dan apa yang diinginkan, dipikirkan, dan dibayangkan. Misalnya seorang yang saat trance mereka mengharapkan, membayangkan, memikirkan sesuatu, maka dia akan mengkonsentrasikan pada objek pikir tersebut. Misalnya jika mengkonsentrasikan kepada titik, maka akan muncul fenomena seperti berada di suatu tempat yang tinggi, memasuki lorong yang panjang, mendapatkan cahaya sangat terang benderang kemudian dia masuk total dan mengikuti terus fenomena yang muncul maka akan terjadi peristiwa trance yang tidak disadari. Namun bagi mereka yang meniatkan dirinya untuk mendekatkan, memikirkan, merasakan Allah maka fenomena yang muncul seperti perasaan dekat, kesatuan dengan Allah, dan terjadinya proses binding dan pada saat trance orang tersebut tetap sadar sebab dia tidak masuk pada fenomena yang muncul tapi tetap teguh pada objek pikir Allah.

Proses terjadinya trance seringkali disertai dengan gerakan-gerakan yang tidak beraturan entah itu disadari ataupun tidak. Gerakan ini disebabkan karena otak mendapatkan rangsangan yang sangat kuat yang selama ini rangsangan itu belum pernah dikenal sebelumnya. Rangsangan yang kuat ini mirip dengan penderita epilepsi ketika dia mendapatkan serangan pada otaknya. Serangan tersebut disebabkan oleh adanya ledakan aktivitas listrik di luar batas normal di area otak tertentu dan menyebabkan bagian lobus temporalis mengalami pengalaman - pengalaman spiritual. Fenomena ini diperkuat dengan penelitian Pesinger (dalam Zohar, 2000) dengan memberikan rangsangan pada otak bagian lobus temporalis maka orang tersebut akan mengalami pengalaman spiritual.

Selama berlangsungnya trance terjadi perubahan-perubahan pernafasan, sikap duduk agak terarah ke belakang, kadang mata terbelalak yang hitam pindah ke atas. Pada kondisi ini orang yang bersangkutan terdapat gejala pengendapan kesadaran. Penurunan ini diikuti dengan gejala gerak-gerak. Hal ini bisa dicontohkan saat seseorang akan memasuki tidur terdapat gejala tarikan otot, goncangan-goncangan pada tangan dan kaki atau seluruh tubuh (Kartoatmodjo, 1995).

Beberapa aliran spiritual menggunakan trance untuk meningkatkan kesadaran dan meningkatkan spiritualitas, serta pemusatan energi tenaga dalam. Seperti yang dilakukan oleh lembaga tenaga dalam HI mereka menggunakan metode getaran untuk membangkitkan energi yang tersimpan. Getaran fisik yang terjadi, menurut aliran tersebut, dilakukan untuk memancing dan mempercepat tercapainya kondisi beresonansi (ikut bergetar) fisik terhadap rohani sehingga membentuk getaran yang selaras. Keselarasan getaran ruhani dan fisik ini menghasilkan penyerapan, pengolahan dan polarisasi (pemusatan) energi,sehingga energi yang dihasilkan atau dihimpun akan jauh lebih besar, lebih padat dan lebih terkonsentrasi serta mempersingkat waktu yang diperlukan hingga 14 kali lebih cepat dari pada metode lainnya.

Pada laku patrap dengan metode gerak saat menyambungkan diri dengan Allah berarti telah merangsang saraf yang berada di lobus temporalis, yang oleh beberapa ahli disebut dengan god spot, karena ketika lobus temporalis ini disodori hal-hal yang bersifat spiritual akan menunjukkan aktivitasnya. Semakin kencang dan kuat rangsangan terhadap saraf di lobus temporalis in, maka loncatan listrik yang terjadi juga sernakin besar. Kondisi yang tidak stabil ini mengakibatkan goncangan flsik yang berupa kejang, dan gerakan-gerakan kasar serta tidak beraturan, di sinilah terjadi trance secara sadar. Goncangan fisik yang terjadi tanpa kehendak patrapis akan menimbulkan pemahaman tersendiri bahwa dia memiliki kesadaran lain selain kesadaran fisik yang dipakai selama ini Loncatan kesadaran ini membuka wawasan yang sangat luas bagi pelaku, baik secara kognitif maupun emosinya. Disinilah terjadinya peningkatan kesadaran atau munculnya altered states of consciousness dan munculnya kesadaran transendensi.

Ketika seseorang sudah memunculkan getaran tersebut maka proses meningkat yaitu kehendaknya digunakan untuk mengikuti kehendak yang lebih berkehendak, sehingga kesadaran diri dan kesadaran transendensi akan semakin meningkat. Proses mengikut ini akan semakin menurunkan rangsangan terhadap lobus temporalis, loncatan listnik di otak pun juga akan menurun, sehingga akan menyebabkan seseorang akan berada pada kondisi relaxed alerteness atau kondisi relaks yang waspada. Kondisi ini ditandai dengan munculnya gelombang alfa pada otak. Selanjutnya, bila kondisi ini diteruskan seseorang akan berada pada kondisi hening, dan gelombang pada otak semakin halus pada fase tertentu akan berada gelombang deltha dan pelaku akan mengalami fenomena ecstasy.
Beberapa waktu setelah melakukan patrap maka informasi yang dihunjamkan kuat akan terus terbawa dalam keadaan duduk, tidur, berbaring. Informasi tentang kondisi dan suasana transenden akan tersimpan tidak hanya dalam short term memory (ingatan jangka pendek) tapi akan tersimpan dalam long term memory (ingatan jangka panjang).

Beberapa respons fisiologis selama proses Patrap (Uzikir)
1. Relaksasi
Benson (2000) menyebutkan bahwa ketika seseorang meditasi, secara otomatis akan muncul respon relaksasi. Respons ini terjadi karena menurunnya aktivitas otak sehingga mempengaruhi kerja fisik yang berupa ketegangan-ketegangan. Kondisi rileks ini sangat bermanfaat bagi kesehatan karena selain bisa digunakan kondisi istirahat juga bisa digunakan untuk mengurangi keluhan-keluhan sakit fisik (Subandi, 2002). Kondisi rileks ini akan memicu bekerjanya otak untuk menghasilkan endegenous morphin yaitu suatu zat penenang yang cara bekerjanya seperti efek morphin, sehingga menimbulkan kondisi tenang.

 

2. Munculnya energi yang besar dan menyehatkan
Menurut Supardan (1983), manusia memiliki unsur kimia tubuh (body chemistry) yang bernama ATP (Adenosine Tn Phosphate). ATP ini dapat berubah menjadi energi melalui proses metabolisme tubuh. Secara sederhana dapat ditulis sbb:
02 + ATP + Glikogen Energi
Dalam proses perangsangan, energi dan hasil reaksi ATP memiliki proses tertentu. Ketika oksigen dihisap, secara normal oksigen hanya digunakan sebatas membantu lancarnya peredaran darah, melancarkan metabolisme tubuh dan mensuplai otak dengan kadar yang cukup. Oksigen juga merangsang energi yang ada dalam tubuh untuk menghidupkan aktivitas tubuh yang sempit sekali, hanya cukup untuk menggerakan tubuh secara normal. Tetapi lain halnya dengan pengambilan oksigen secara khusus dalam latihan tenaga dalam. Untuk membangkitkan tenaga dalam, diperlukan oksigen yang banyak dan efektif. Satu-satunya jalan ialah dengan cara mengubah pernafasan biasa menjadi pernafasan spesial, yaitu dengan mengoptimalkan oksigen yang masuk jangan sampai terbuang percuma sedangkan untuk bagian lain harus seimbang. Hal ini dapat terjadi secara otomatis ketika seseorang bermeditasi. Organ pernapasan akan bekerja dengan sendiri untuk pengambflan napas secara teratur dan efektif. Energi yang dihasilkan oleh ATP dalam keadaan sehari-hari berupa panas tubuh, membantu lancarnya penyaluran adrenalin, menghidupkan kimia tubuh untuk membentuk kekebalan tubuh (zat antibodi), menghidupkan aktivitas pencernaan dan menghidupkan semua aktivitas organ dalam tubuh manusia.

3. Fenomena terhambatnya rasa sakit
Pada saat seseorang bermeditasi maka perhatian penuh pada objek meditasinya. Perhatian yang penuh ini menyebabkan seseorang kehilangan rangsang inderanya. Fenomena ini sering disebut dengan self hypnosis, sebab dengan cara ini seseorang dapat menghipnosa dirinya sendiri sehingga ketika meditasi berlangsung dia tidak merasakan apapun meskipun tubuhnya kena rangsangan yang menyakitkan. Teori kontrol pintu gerbang (gate control theory) mengatakan, bahwa hilangnya rasa sakit ketika seseorang bermeditasi terjadi karena adanya rangsangan dan dalam yang lebih besar dibanding rangsangan dari luar tersebut yang menghambat rangsang tersebut masuk ke otak. Rangsáng yang lebih besar pada saat seseorang bermeditasi adalah adanya ASC (altered states of consciousness). Kondisi ini menimbulkan perasaan damai, tenang, dan menyenangkan sehingga menghambat rangsang yang masuk pada otak (Subandi, 2002).

Penutup
Kajian-kajian psikologi yang lebih mendalam tentang transendensi masih sangat kurang. Kebanyakan penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengaruh meditasi terhadap kesehatan dan perubahan kepribadian dan negatif ke positif. Luasnya lahan pengalaman transendensi dan sedikitnya orang yang mengalaminya menjadikan salah satu penyebab kajian-kajian transendensi bergerak lambat. Mudah-mudahan dengan sedikit ulasan ini akan lebih meningkatkan praktik-praktik laku transendensi karena manfaat yang didapatkannya cukup besar, serta tidak dianggap sebagai perilaku klenik/ perdukunan dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar