Oleh: Zaenal Arifin
A. Pendahuluan
Mengamati secara cermat asal-usul kepercayaan Jawa tidaklah sesederhana yang
kita bayangkan. Kepercayaan Jawa yang banyak bersentuhan dengan mistik itu,
dalam realitasnya banyak menyimpan misteri yang sangat kompleks. Kompleksitas
kepercayaan komunitas kejawen tidak jarang menampakkan berbagai sekte dan
tradisi kehidupan dalam masyarakat Jawa. Sekte-sekte dan tradisi kehidupan itu
sebagai bentuk manifestasi dari religiusitas masing-masing wilayah
kejawen.
Lebih
menarik lagi, hampir setiap wilayah kejawen memiliki pedoman khusus khas Jawa,
memiliki kosmogoni (asal-usul) kepercayaan dan mitos yang berbeda-beda serta
unik.
B. Cina, Islam Cina dan Religi Jawa Kuna
Tidak sedikit
para ilmuwan antropologi yang berbeda perspektif dalam melihat kosmogoni
kepercayaan kejawen ini. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa kosmogoni
kepercayaan Jawa diwarnai oleh kebudayaan Cina. Pandangan ini didasarkan pada
suatu pemikiran bahwa berita mengenai Cina di kepulauan Indonesia dapat dianggap sebagai
sumber ke tujuh dalam sejarah politik Jawa pada abad ke-15 dan 16. Dalam
catatan Narendra Agung dikatakan bahwa Cina ternyata sangat penting bagi
pembentukan corak kepercayaan Islam di masyarakat Jawa. Demikian juga dalam
catatan sejarah dari pusat-pusat perdagangan Cina di Jawa, menunjukkan bahwa
telah ada orang Cina Muslim yang tinggal di Jawa.
Alasan di atas
diperkuat oleh bukti historis bahwa pada saat Khubilai Khan berkuasa jauh
sebelum abad ke-15 dan ke-16 M, yaitu pada tahun 1275 M, ia memberi kebebasan
dan kepercayaan kepada orang-orang Islam dari Turkistan di Asia Tengah untuk
keluar masuk negeri Cina. Orang-orang Turkistan Muslim itu selain beroleh
kedudukan yang cukup baik, juga ada yang menduduki jabatan menteri di istana
kaisar. Oleh karena itu orang-orang Turkistan dari Balkh,
Bukhara dan Samarkand mulai melancarkan pengislaman
terhadap orang-orang Mongol dan Cina serta orang-orang di wilayah kekuasaan
Khubilai Khan. Pada saat itu sekalipun pengislaman di Cina hasilnya tidak
seperti di Persia, India
dan Turkistan, namun boleh dikatakan
orang-orang Cina banyak yang masuk Islam. Dari data di atas, tidak menutup
kemungkinan bahwa Cina yang datang ke Jawa, baik atas dasar kepentingan
perdagangan maupun politik dimungkinkan membawa tradisi dan kebudayaan Islam,
selain juga tradisi dan kebudayaan khas mereka sendiri.
Pandangan lain yang agak senada juga diungkapkan oleh J.H. Kern asal Belanda. Menurutnya orang Jawa
dianggap dari keturunan orang-orang Melayu yang berasal dari Cina. Kurang lebih
tiga ribu tahun sebelum Masehi menurut pandangan Kern telah terjadi gelombang
pertama imigran Melayu yang berasal dari Cina yang membanjiri Asia Tenggara,
yang disusul kemudian dengan gelombang kedua, kurang lebih dua ribu tahun
lamanya. Pengaruh imigran Melayu Cina ini, bagi masyarakat Jawa tidaklah kecil,
melainkan kultur Cina baik yang sudah bersentuhan dengan kebudayaan Islam
sebagaimana yang terjadi pada masa kekuasaan Khubilai Khan, maupun yang belum
berinteraksi dengan Islam, betapapun telah banyak mempengaruhi karakter asli kebudayaan
Jawa.
C. Akulturasi Islam Campa, Hindu Campa dan Agama Jawa Kuna
Selain pengaruh
kepercayaan dan kebudayaan Cina, kepercayaan Campa juga tidak kalah
pentingnya untuk mewarnai kepercayaan Jawa. Proses Islamisasi penyebaran Islam
di Surabaya dan Gresik ternyata juga dilakukan oleh para penyebar Islam asal
Campa.
Sekitar tahun
1446-1471 M telah terjadi pengungsian besar-besaran penduduk Campa ke
Nusantara, utamanya di Pulau Jawa. Alasan pengungsian tersebut dikarenakan
bangsa Campa diduduki oleh bangsa Vietnam. Tanpa disadari proses
pengungsian tersebut telah terjadi proses asimilasi, kolaborasi dan akulturasi
budaya maupun kepercayaan antara Bangsa Campa dan Jawa. Bangsa Campa sendiri
adalah bangsa yang tinggal di kawasan pesisir Vietnam
mulai dari daerah Bien Hoe di utara Saigon sampai ke Porte di Selatan Hanoi serta sebagian lagi tersebar ke Kampuchea. Bangsa Campa sudah
dikenal eksistensinya sejak akhir abad ke-2 Masehi. Raja-raja Cina dari Dinasti
Tsin telah melihat bahwa ada gerakan-gerakan mereka di selatan meski belum
dikenali identitasnya. Pada abad ke-2 M inilah wilayah kekaisaran Cina sering
diserbu oleh komunitas Barbar dari selatan. Orang-orang Barbar dari selatan itu
ditengarahi berasal dari bangsa Campa.
Sejak itu pula
Bangsa Campa telah menunjukkan pengaruh Hinduismenya. Hal ini membuat bangsa
Campa harus berbenturan dengan bangsa Vietnam yang terpengaruh Cina.
Sekalipun Bangsa Campa sepanjang sejarahnya tidak mampu mengembangkan
wilayahnya ke utara, namun kebudayaannya yang terpengaruh India yang Hinduistik tetap
bertahan selama berabad-abad dari desakan kebudayaan Cina-Vietnam.
Sejumlah
sejarawan mengatakan pengaruh Islam di Campa tidaklah begitu besar sebelum
tahun keruntuhannya pada tahun 1471 M akibat serangan dari Vietnam. Namun demikian
persinggungan antara bangsa Campa dengan orang-orang Islam teridentifikasi
sejak abad ke-10 M. Indikasi ini bisa dilihat ketika raja Campa Indravarman III
mengirimkan seorang duta beragama Islam bernama Abu Hasan ke kaisar Cina pada
tahun 951 dan 958 M. Indikasi lain bisa
dilihat pada berbagai prasasti bahasa Arab yang ditemukan di Campa pada tahun
1902-1907 setelah diteliti menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-10 M. orang-orang
Islam di Campa sudah memiliki otonomi dan pemukiman sendiri. Ini berarti Islam
telah dikenal oleh Campa sejak abad ke-10 M.
Dengan demikian,
baik Cina maupun Campa sekalipun memiliki corak kepercayaan maupun kebudayaan
yang khas pada wilayahnya masing-masing, namun proses interelasi dan
inkulturisasi dengan Islam, sedikit banyak telah merubah iklim dan wajah
kepercayaan dari dua bangsa tersebut menjadi kepercayaan yang saling melengkapi
dan berasimilasi. Lebih-lebih ketika kedua bangsa tersebut mengungsi ke
Jawa, maka kepercayaan Bangsa Campa utamanya telah berubah menjadi
Hindu-Jawa dan Islam-Jawa. Sentuhan kepercayaan dan kebudayaan yang telah
banyak mewarnai corak kepercayaan maupun kebudayaan bernuansa Islam di satu
sisi dan Hindu di sisi yang lain telah melengkapi karakter asli kepercayaan
Jawa di kalangan masyarakat Jawa.
H.J. de Graaf
juga mengatakan pada konteks yang sama bahwa pada abad ke-15 dan ke-16 M para
pedagang dari wilayah Cina selatan dan pesisir Vietnam, yang sekarang Campa semakin
aktif melakukan kegiatan di Jawa. Menurutnya para penyebar kebudayaan dan
kepercayaan dari Cina dan Campa di Jawa pada abad ke-14 dan ke-15 M ketika itu,
tidak sedikit membawa pengaruh signifikan terhadap adat dan tradisi keagamaan
serta kepercayaan kepada masyarakat Jawa yang bercorak Hindu-Islam.
Dengan demikian kepercayaan asli Jawa, animisme dan dinamisme tidak menutup
kemungkinan secara historis telah mengalami proses asimilasi dengan kepercayaan
di atas. Uniknya elastisitas kepercayaan asli Jawa yang sanggup menampung
berbagai kepercayaan yang datang dari luar itu, tetap mampu mempertahankan
nilai keasliannya.
D. Asal-usul Agama Jawa dan Leluhur Jawa
Secara
antropologis orang Jawa memang telah lama ada. Hal ini terbukti telah ditemukan
fosil-fosil di sekitar Bengawan Solo, Jawa Tengah. Fosil yang tertua disebut Pithecantropus
Erectus dan fosil yang termuda disebut Homosoloensis. Karena
fosil ini ditemukan di Jawa Tengah dapat diduga bahwa propinsi ini yang menjadi
nenek moyang orang Jawa. Orang Jawa selalu menyatakan bahwa mereka adalah
keturunan leluhur Jawa. Leluhur Jawa adalah orang yang mendirikan tanah Jawa.
Hanya saja, siapa
yang menjadi pemula dari leluhur orang Jawa tersebut di antara para ahli
masih berbeda pandangan. Pertama: pandangan yang beraggapan bahwa
leluhur orang Jawa berasal dari Timur Tengah yang mengembara dengan cara
berdagang sampai ke Jawa. Kedua: leluhur Jawa berasal dari dewa, yaitu
Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu, atas dasar itulah mayoritas komunitas kejawen
memiliki karakteristik untuk mempertahankan nilai dan status sosialnya sebagai
keturunan Dewa. Ketiga: berasal dari seorang pengembara yang gemar
keliling dunia seperti halnya Marcopolo. Ketiga asal-usul tersebut sama-sama
logis dan menduduki peranan penting dalam kehidupan orang Jawa. Hal ini
menggambarkan bahwa tradisi kepercayaan nenek moyang Jawa pun terjadi sinkretis
antara Hindu Jawa dan Islam Jawa. Hindu Jawa berasal dari tradisi India dan Campa
sementara Islam Jawa berasal dari Timur Tengah dan sebagian tradisi Campa dan
Tradisi Cina.
Sementara itu,
ilmuwan lain mengatakan bahwa asal mula kepercayaan Jawa asli yang bersifat
transendental lebih cenderung kepada paham animisme dan dinamisme. Pandangan
senada diungkapkan juga oleh Masroer. Menurutnya sebelum Hinduisme dan Budhisme
masuk ke Jawa, agaknya orang-orang Jawa telah menganut agama asli yang bercorak
animistik dan dinamistik. Masih dalam konteks yang sama, Simuh juga mengatakan
bahwa suku-suku bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa sebelum kedatangan pengaruh
Hinduisme telah hidup teratur dengan tradisi animistik dan dinamistik sebagai
akar religiusitas, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka. Lebih dari itu
Simuh mengatakan bahwa religi animisme dan dinamisme yang menjadi akar budaya
asli masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap
kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.
Sedemikian kuatnya religi
animisme dan dinamisme itu mengakar pada karakter asli masyarakat Jawa, hingga
ragam budaya dan kepercayaan apapun yang bersentuhan dengan religi Jawa, tetap
saja tidak banyak berpengaruh secara signifikan bagi perubahan esensial religi
animisme dan dinamisme yang menjadi simbol kejawen tersebut.
RM Sutjipto
Wirjosuparto juga mempunyai pandangan yang sama, ia mengatakan sungguhpun kebudayaan
Jawa asli menjalin hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang lebih
tinggi, misalnya kebudayaan Hindu, Islam dan Barat yang menyebabkan
termodifikasinya kebudayaan Jawa asli, ternyata pola kebudayaan asli Jawa tetap
saja sama dengan sebelumnya, lantaran unsur-unsur kebudayaan lain tersebut
terserap dalam pola kebudayaan dan kepercayaan kejawen. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa elastisitas kebudayaan kejawenlah yang mampu mempertahankan
karakter dan ciri asli kejawennya.
Tidak kalah menarik
J.W.M. Bakker yang mengatakan walaupun sebagian besar masyarakat Jawa mengaku
secara formal beragama Islam, namun demikian sikap dan praktik keagamaan
sehari-hari yang mereka hayati, senantiasa dijiwai dalam batin yang paling
dalam oleh agama asli kejawen tersebut, yaitu animisme dan dinamisme.
Bermula dari
kepercayaan animisme dan dinamisme Jawa--dengan varian-varian mitologinya yang
ada pada masing-masing wilayah-yang dipertemukan dengan budaya luar yang lebih
tinggi, misalnya Hindu, Budha, dan Islam telah memunculkan model kepercayaan
baru berupa Islam Kejawen, Hindu Kejawen dan Budha kejawen sesuai
dengan di wilayah mana mereka berada.
E. Kosmogoni Jawa dan Latar
Belakang Mitologi Jawa
Perbedaan
pandangan asal-usul kejawen tersebut selain dilatarbelakangi oleh cara pandang
historis, juga karena dipengaruhi oleh perbedaan konstruksi mitologis yang ada
pada masing-masing wilayah. Perbedaan mitologis yang ada pada masing-masing
wilayah itu akan terlihat dengan jelas dalam mitos dua tokoh misteri,
yaitu Sri dan Sadono. Menurut kepercayaan mitis Jawa, Sri dan Sadono adalah
asal-usul Kejawen. Sri sebenarnya dimitoskan sebagai penjelmaan dewi Laksmi,
isteri Wisnu. Sedangkan Sadono adalah penjelmaan dari Wisnu itu sendiri. Dalam
kaitannya dengan mitologi ini sesungguhnya Sri dan Sadono adalah lambang Dewi
Laksmi dan Dewa Wisnu sebagai suami istri yang menjadi cikal bakal kejawen.
Atas dasar itu berbagai ritual mistik kejawen, keduanya selalu mendapatkan
posisi khusus dalam masyarakat Jawa. Dewi Sri dipercaya sebagai dewa padi,
sementara Wisnu dianggap sebagai dewa yang membuat alam dan seisinya ini damai
dan teratur.
Menurut Tantu Panggelaran, Sri dan Sadono memang pernah diminta turun ke
arcapada untuk menjadi nenek moyang di Jawa. Sumber ini tanpa terasa akan
menjastifikasi kepercayaan mitis, bahwa orang Jawa itu keturunan dewa. Dengan
kata lain orang Jawa menurut kepercayaan mereka berasal dari keturunan yang
mulia dan tinggi derajatnya, status sosial dan kulturnya.
Ajaran kuno yang selalu menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Dewi Sri (Dewi
Laksmi) dan Sadono (Dewa Wisnu) adalah falsafah Ajisaka. Ada kepercayaan bahwa dari Ajisaka ini
lahirlah aksara Jawa. Aji Saka, berasal dari kata Aji (raja, yang
dihormati, dipuja dan disembah), sedangkan Saka berarti tiang atau
cabang. Dengan demikian Ajisaka berarti tiang penyangga yang memperkokoh
religiusitas manusia. Religiusitas Jawa tidak lain adalah mistik kejawen.
Paham kejawen sejak mempercayai mitos Dewi Sri dan Dewa Sadono dianggap
mencerminkan kebodohan, baru ketika Ajisaka datang ke tanah Jawa, masyarakat
Jawa merasa memiliki ilmu. Atas dasar itu Ajisakalah yang dianggap penyangga
keilmuan Jawa. Oleh karena itu dalam kisahnya, Ajisaka akan mengalahkan Dewata
Cengkar, lambang masyarakat tempo dulu yang masih membawa tradisi bar-bar,
yaitu masyarakat yang belum berperadaban. Dewata adalah simbol kebaikan,
sedangkan Cengkar adalah simbol keburukan. Dewata Cengkar berarti gambaran baik
dan buruk yang ada pada diri manusia. Hadirnya Ajisaka di Jawa bermaksud
menyingkirkan berbagai keburukan dan kegersangan pada diri manusia, selanjutnya
menghadirkan dan memenuhi sifat-sifat kebaikan yang menandainya sebagai makhluk
yang berperadaban dan berkebudayaan.
Dari kisah mitis tersebut menggambarkan bahwa Ajisaka berasal dari pulau
Majeti, adalah gambaran badan wadag (kasar) manusia.
Gambaran alam semesta yang mudah rusak, di tempat inilah akan selalu dihuni
oleh abdi Dora dan Sembada, yaitu nafsu yang jelek dan baik.
Keduanya senantiasa berkecamuk dan tidak ada yang menang dan kalah. Sekilas
dari kisah sugestif ini Ajisaka memang bukan asli kejawen, hanya saja ia
mengajarkan kejawen menurut versinya. Artinya ajaran kejawen yang telah
dikolaborasi dengan ajaran yang ada pada dirinya, namun bagi kejawen hal
tersebut tidak menjadi masalah.
Perbedaan kosmogini dan mitologi lain juga dijumpai di Tengger. Menurut
keyakinan mitis, Tengger berasal dari tokoh mistis Roro Anteng dan Joko Seger.
Kedua tokoh ini sangat dipuji oleh masyarakat Tengger melalui ritual slametan.
Termasuk juga mitos Minakjinggo dan Sinto yang terjadi di Banyuwangi yang
menurut Beatty mitos ini sebagai simbol reproduksi. Hal ini bisa dilacak dari
terma jinggo (merah) dan sinta (putih). Warna merah dan
putih melambangkan sesaji jenang abang putih yang merepresentasi
dari asal-usul manusia yang berasal dari seorang ibu dan ayah. Di wilayah lain
yang hampir senada juga dijumpai di Pekalongan, Salatiga, Yogyakarta, Surakarta dan Ponorogo.
Masing-masing memiliki legenda sebagai representasi mitos yang berkembang dalam
pemikiran rakyat setempat. Masing-masing mitos diyakini memiliki local
Genius atau kearifan tradisional yang luar biasa. Biasanya legenda
tersebut dijadikan sebagai sandaran kehidupan mistik di kalangan mereka. Atas
dasar itu kehidupan kejawen menjadi sentral mistik
Rachmad Subagya dalam memandang kosmogini kejawen, berbeda sama sekali dengan
pandangan para ilmuwan antropologi sebelumnya. Kosmogini kejawen dalam
pandangannya justru diawali dengan kepercayaan dan kebudayaan monoteistik dan
teistik. Bagi Rachmad watak dasar kepercayaan orang-orang Jawa asli bukan
berada pada kepercayaan animistik dan dinamistik sebagaimana menurut kebanyakan
para antropolog yang lain. Pemikiran reflektif mereka tentang ketuhanan
–menurut Rachmat--memang tidak selengkap dan seideal agama-agama besar yang
secara normatif doktriner telah disiapkan dalam kitab-kitab wahyu yang
autentik. Pemikiran mereka terhadap Ilahi tersebut tumbuh dari pengalaman
hidup, baik dalam suasana hari-hari gembira maupun suasana hari-hari sedih.
Dalam hati sanubari terlintas adanya keyakinan magis (gaib) terhadap Ilahi yang
dianggap mampu menaungi hal ikhwal insani. Dalam suka dan duka hidup manusia
senantiasa dihadapkan pada Ilahi untuk memohon perlindungan terhadap bahaya
yang mengancam, baik berupa bencana alam, penyakit, hantu atau manusia yang
bertuah.
Rasa ketuhanan yang terpendam dalam lubuk hati manusia sulit untuk diungkapkan,
baik dari kalangan mereka yang telah mengenal pewahyuan dari tuhannya maupun
yang belum mengenal sama sekali kecuali lewat pengalaman-pengalaman keagamaan
secara natural. Rasa ketuhanan itu pada akhirnya memanifestasi menjadi
dua bentuk. Pertama: komunitas yang mengakui bahwa Ilah itu sebagai Fascinosum,
yaitu dzat yang menarik, mempesona, mesra dan menimbulkan rasa cinta pada-Nya. Kedua:
Ilah diakui sebagai Tremendum, yaitu yang menakutkan, jauh dan
dahsyat.
Menurut Rachmat, perilaku keberagamaan sejenis ini dalam realitasnya juga
dialami oleh agama-agama yang maju, hanya saja terdapat perbedaan
teknis-eksoterik, utamanya dalam penggunaan terma-terma maupun
simbol-simbol keagamaan. Bagi agama maju misalnya, menggunakan istilah iman
tatkala mereka membayangkan kasih sayang dan keadilan Tuhan, dan istilah taqwa
tatkala mereka membayangkan kekhawatiran-kekhawatiran akan kesalahan di hadapan
Tuhan. Ia mengatakan bila kedua sikap tersebut, yaitu sikap kasih dan sikap
taqwa seimbang, saling melengkapi dan keduanya diarahkan kepada pribadi
Tuhan yang baik dan adil, maka muncullah sikap keagamaan yang disebut dengan teisme
dan monoteisme.
Dua sikap keagamaan di atas dalam praktiknya selalu kabur dan samar dalam diri
manusia, sehingga tidak ada lagi kekuatan untuk menggugah emosi keagamaan
manusia. Berawal dari ini semua, Tuhan pencipta kemudian dianggap tersembunyi
jauh di atas ciptaan. Tuhan dianggap barang gaib yang berjarak jauh dan paling
asing bagi mereka, apalagi yang tidak berani untuk mengungkapkannya. Keadaan
inilah yang membuat mereka masuk ke dalam sikap keagamaan yang disebut dengan deisme.
Dengan menjauhkan Tuhan dari ruang lingkup insani, maka manusia terbawa oleh
kecenderungan hatinya yang selalu dekat dengan hal ghaib selain Tuhannya.
Misalnya dengan mempersonifikasikan Tuhan dalam bentuk alam semesta ini, yaitu
matahari, bulan dan bumi, inilah yang disebut dengan proses mitologisasi alam.
Sikap ini juga bisa dikatakan sebagai upaya konkritisasi hal-hal yang abstrak.
Model lain adalah
dengan mengkhayalkannya sebagai penghuni pohon atau arwah para leluhur yang
sering disebut dengan animisme dan manisme. Akhirnya daya
ghaib dianggap bersemayam dalam benda alam seperti gunung, batu, air dan api
inilah yang disebut dengan dinamisme. Alur pemikiran Rachmat di atas
menunjukkan cara pemikiran yang berbeda dari yang lainnya. Rachmat meletakkan
paham animisme dan dinamisme berada jauh setelah paham monoteisme
dan teisme. Lebih menarik lagi, ketika Rachmat mensejajarkan
perilaku keberagamaan orang Jawa asli identik dengan perilaku keberagamaan dari
kalangan orang-orang yang beragama besar yang telah maju.
F. Kesimpulan
Karagaman cara
pandang keagamaan di atas, secara esoterik terdapat titik-titik kesamaan
sekalipun berbeda dari sisi eksoteriknya. Pandangan ini secara spesifik,
semakin menguatkan suatu pandangan yang meyakini adanya perjumpaan antara
sinkretisme kejawen dan sufisme Islam. Sinkretis kejawen mengatakan
adanya konsep sangkan paraning dumadi (arah kehidupan)
dan manunggaling kawula gusti, sementara
konsep sufisme Islam mengatakan adanya teori ittihad dan ilhad
yang mengkristal menjadi wahdatu al-wujud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar