Jumat, 26 Desember 2014

SASTRA LISAN DAN DAKWAH ISLAM


Oleh :  Agus Zaenal Arifin 

 
Adakah kaitan antara sastra dan dakwah Islam? Bila maksudnya sastra lisan, khususnya di dunia pesantren, jawabnya ada dan kuat, meskipun sering tak khusus dikemas dengan ‘merek’ dakwah. Kekuatan dakwahnya tampak, justru karena strategi tanpa merek tadi.
Dengan pendekatan itu dakwah meresap ke dalam hati sanubari karena sifatnya yang persuasif, tidak hitam-putih, dan tidak menggurui. Juga tak ada ancaman neraka yang menakutkan, dan tak kelewat menabur janji surga yang muluk-muluk dan menggiurkan.
Ini lebihnya bila para da’i mengenal seni. Mereka sadar, dakwah tak sama dengan kampanye pemilu, proyek yang membikin pilu hati rakyat itu. Bagi mereka, sastra ya sastra. Dan isi dakwah di dalamnya menyelip begitu saja tapi impresif, mulus dan kuat tapi alamiah. Karena itu, tak ada keganjilan.
Sastra lisan kita, dengan kata lain, tak kelewat sarat ‘muatan’ moral yang bombas dan hampa seperti drama-drama dakwah kita di TVRI. Pesan moral terang ada. Tapi, bukan moralitas telanjang sebagai ‘iming-iming’ atau ‘ancaman’.
Kadangkala warna moral itu malah baru meresap ke dalam kalbu setelah sastra itu ditembangkan sebagai pujian. Ia enak ditembangkan di sawah oleh petani atau gembala. Dan kedengaran syahdu dijadikan puji-pujian di masjid atau di langgarmenjelang shalat jamaah tiba.

Dalam seminar “Tradisi Lisan Nusantara” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Desember 1993, di hari pertama makalah Basanan dan Wangsalan sebagai Kritik Sosial: Tinjauan Awal terhadap Sastra Lisan Banyuwangi oleh Hasan Ali Sentot, dan Puji-pujian: Sebuah Trudisi Lisan datum Sastra Pesantren oleh Muhammad Abdullah, disajikan dan dibahas.
Berbeda dari sementara karya kontemporer kita, dalam  pesantren tak tampak adanya pesan ‘sponsor’. Memang bisa saja seperti diakui oleh Suripan Sadi Hutomo, yang bicara pada sesi ketiga hari pertama itu, sastra lisan ditumpangi  pesan sponsor. Tapi pesan di situ tidak kekal, temporer, dan tak tentu datangnya.
Dan seperti tampak dalam pementasan Ken trung yang menyertai penampilan Sunipan, pesan ‘sponsor’ itu nyata betul sebagai ‘benda’ asing, norak, dan tak menyatu dengan ‘irama’ aslinya.
Dari  mana sastra dakwah memancar ke masyarakat kita? Bila cinta datang dari mata turun ke hati, sastna dakwah memancar dari pesantren turun ke hati juga.
Pesantren, kita tahu, memiliki ‘gudang’ ilmu berupa kitab-kitab (sumber tertulis), dan tradisi lisan. Di dunia pesantren, hal itu tentu saja disampaikan sebagai salah satu bahan kajian. Tapi, karena sifatnya yang nyeni, maka sastra lisan juga berfungsi menghibur para sanitri yang puyeng kebanyakan menelan ajaranIslam, baik yang dibungkus fiqih maupun tasawuf.
Menurut Muhammad Abdullah dalam paper-nya, puji-pujian yang berupa nyanyian keagamaan bersumber pada kitab-kitab maupun lisan. Mudah diduga bahwa, di dalam pesantren, kedua sumber itu berkembang sama pesat. Sebaliknya di luar pesantren, terutama di desa tempat tinggal umat yang buta huruf, sumber lisan jelas lebih berkembang berkat aneka forum pengajian yang dipimpin oleh kiai.
Kreasi baru yang muncul dan improvisasi kiai di atas panggung juga ada. Dan tambahan dari umat pun tak dibatasi.

Di Bantul, desa saya yang Muhammadiyah oriented itu, tidak ada pesantren. Meskipun begitu, puji-pujian dan salawatan pernah lama menggejala luas dan intens. Lewat puji-pujian itu, proses intemalisasi ajaran dan nilai-nilai keislaman berlangsung, dan lebih rnencerahkan dibandingkan strategi dakwah seorang ustad, yang isinya “baik-baik saja” tapi membosankan itu.
Ada tembang Dandanggula yang dikenal luas di kampong saya. Hampir tiap orang bisa melagukannya kapan saja.
Urip iku, neng donya tan lami
mung uporno jebeng menyang pasar
tan langgeng neng pasar bae
tan wurung bakal mantuk,
dan seterusnya
(Hidup di dunia ini tak lama, ibarat orang pergi ke pasar, tak mungkin akan terus di pasar, bagaimanapun akhimya ia akan pulang...).
Karena berbahasa Jawa, dan menggunakán idiom-idiom Jawa, orang mengiranya khas ciri woridview orang Jawa,  dan potret kearifan Jawa dalam memandang perkara hidup. Tapi, ternyata saya temukan, tembang itu karangan Kanjeng Sunan Kalijaga,yang oleh orang Jawa disebut guru suci wang tanah Jawi.
Karya serti ini bagian dan strategi dakwahnya yang terkenal sosiologis, murah, dan inklusif itu. Orang desa yang didakwahinya tak dimarah-marahi dan tak ditakuti ancaman apa pun. Mereka, sebaliknya, dibikin senang, ‘dirogoh’ dulu hatinya, dan dakwah kesudahannya berjalan dalam keadaan suka sama suka. Enak sekali.
Berkembangnya puji-pujian, dan salawatan di satu pihak, dan gending-gending kearifan hidup karangan Sunan Kalijaga di lain pihak, membuktikan satu hal: luasnya jangkauan pengaruh sastra lisan bernapaskan dakwah Islamiah dalam masyarakat.
Pada saat yang sama ia juga membuktikan luasnya pengaruh dan kewibawaan kultural dunia pesantren.
***
Sekarang tradisi puji-pujian dan salawatan sudah punah di kampung saya, karena kabarnya ada pihak yang khawatir bila dalam pujian terdapat elemen kultus (terhadap Gusti Kanjeng Nabi Muhammad Saw.) yang bisa makin ‘miring’ ke kemusyrikan.
Saya tidak tahu apakah benar itu alasannya menghentikan tradisi pujian dan salawatan tadi? Sekiranya benar, kita tampaknya masih tetap berhadapan dengan ‘agenda  lama: ketegangan antara wajah lokal Islam dengan wajah universal.
Ketegangan ini bisa saja terus berlanjut. Tapi, saya tak berminat melibatkan diri. Bagi saya perkaranya mudah: kalau di kampung puji-pujian dan salawatan dilarang, saya masih bisa melakukannya di Jakarta dengan keluarga. Agama itu enak dan mengenakkan.
Dalam beragama karenanya saya emoh tunduk pada ‘garis komando’ dan suara otoritas mana pun. Lagi pula bukankah kita hidup berdampingan dengan komunitas umat yang luas, terbuka, dan kritis serta plural. Artinya, tak cuma ini dan tak pula cuma itu”.
Ada memang saat kita perlu ‘jaket’. Tapi dalam dakwah, usaha ‘memasarkan’ keluhuran moral yang tak memihak, pentingkah warma ‘jaket’ diperdebatkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar