Oleh : Agus Zaenal Arifin
Adakah kaitan antara sastra dan dakwah Islam? Bila maksudnya sastra
lisan, khususnya di dunia pesantren, jawabnya ada dan kuat, meskipun sering tak
khusus dikemas dengan ‘merek’ dakwah. Kekuatan dakwahnya tampak, justru karena
strategi tanpa merek tadi.
Dengan pendekatan itu dakwah meresap ke dalam hati sanubari karena
sifatnya yang persuasif, tidak hitam-putih, dan tidak menggurui. Juga tak ada
ancaman neraka yang menakutkan, dan tak kelewat menabur janji surga yang muluk-muluk
dan menggiurkan.
Ini lebihnya bila para da’i mengenal seni. Mereka sadar, dakwah tak sama
dengan kampanye pemilu, proyek yang membikin pilu hati rakyat itu. Bagi mereka,
sastra ya sastra. Dan isi dakwah di dalamnya menyelip begitu saja tapi impresif,
mulus dan kuat tapi alamiah. Karena itu, tak ada keganjilan.
Sastra lisan kita, dengan kata lain, tak kelewat sarat ‘muatan’ moral
yang bombas dan hampa seperti drama-drama dakwah kita di TVRI. Pesan moral
terang ada. Tapi, bukan moralitas telanjang sebagai ‘iming-iming’ atau
‘ancaman’.
Kadangkala warna moral itu malah baru meresap ke dalam kalbu setelah
sastra itu ditembangkan sebagai pujian. Ia enak ditembangkan di sawah oleh
petani atau gembala. Dan kedengaran syahdu dijadikan puji-pujian di masjid atau
di langgarmenjelang shalat jamaah tiba.
Dalam seminar “Tradisi Lisan Nusantara” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Desember 1993, di
hari pertama makalah Basanan dan Wangsalan sebagai Kritik Sosial: Tinjauan Awal
terhadap Sastra Lisan Banyuwangi oleh Hasan Ali Sentot, dan Puji-pujian: Sebuah
Trudisi Lisan datum Sastra Pesantren oleh Muhammad Abdullah, disajikan dan
dibahas.
Berbeda dari sementara karya kontemporer kita, dalam pesantren tak tampak adanya pesan ‘sponsor’.
Memang bisa saja seperti diakui oleh Suripan Sadi Hutomo, yang bicara pada sesi
ketiga hari pertama itu, sastra lisan ditumpangi pesan sponsor. Tapi pesan di situ tidak kekal,
temporer, dan tak tentu datangnya.
Dan seperti tampak dalam pementasan Ken trung yang menyertai penampilan
Sunipan, pesan ‘sponsor’ itu nyata betul sebagai ‘benda’ asing, norak, dan tak
menyatu dengan ‘irama’ aslinya.
Dari mana sastra dakwah memancar
ke masyarakat kita? Bila cinta datang dari mata turun ke hati, sastna dakwah
memancar dari pesantren turun ke hati juga.
Pesantren, kita tahu, memiliki ‘gudang’ ilmu berupa kitab-kitab (sumber
tertulis), dan tradisi lisan. Di dunia pesantren, hal itu tentu saja
disampaikan sebagai salah satu bahan kajian. Tapi, karena sifatnya yang nyeni,
maka sastra lisan juga berfungsi menghibur para sanitri yang puyeng kebanyakan
menelan ajaranIslam, baik yang dibungkus fiqih maupun tasawuf.
Menurut Muhammad Abdullah dalam paper-nya, puji-pujian yang berupa
nyanyian keagamaan bersumber pada kitab-kitab maupun lisan. Mudah diduga bahwa,
di dalam pesantren, kedua sumber itu berkembang sama pesat. Sebaliknya di luar
pesantren, terutama di desa tempat tinggal umat yang buta huruf, sumber lisan
jelas lebih berkembang berkat aneka forum pengajian yang dipimpin oleh kiai.
Kreasi baru yang muncul dan improvisasi kiai di atas panggung juga ada.
Dan tambahan dari umat pun tak dibatasi.
Di Bantul, desa
saya yang Muhammadiyah oriented itu, tidak ada pesantren. Meskipun begitu,
puji-pujian dan salawatan pernah lama menggejala luas dan intens. Lewat
puji-pujian itu, proses intemalisasi ajaran dan nilai-nilai keislaman berlangsung,
dan lebih rnencerahkan dibandingkan strategi dakwah seorang ustad, yang isinya
“baik-baik saja” tapi membosankan itu.
Ada
tembang Dandanggula yang dikenal luas di kampong saya. Hampir tiap orang bisa
melagukannya kapan saja.
Urip iku, neng donya tan lami
mung uporno jebeng menyang pasar
tan langgeng neng pasar bae
tan wurung bakal mantuk,
dan seterusnya
(Hidup di dunia ini
tak lama, ibarat orang pergi ke pasar, tak mungkin akan terus di pasar,
bagaimanapun akhimya ia akan pulang...).
Karena berbahasa Jawa, dan menggunakán idiom-idiom Jawa, orang mengiranya
khas ciri woridview orang Jawa, dan
potret kearifan Jawa dalam memandang perkara hidup. Tapi, ternyata saya
temukan, tembang itu karangan Kanjeng Sunan Kalijaga,yang oleh orang Jawa
disebut guru suci wang tanah Jawi.
Karya serti ini bagian dan strategi dakwahnya yang terkenal sosiologis,
murah, dan inklusif itu. Orang desa yang didakwahinya tak dimarah-marahi dan tak
ditakuti ancaman apa pun. Mereka, sebaliknya, dibikin senang, ‘dirogoh’ dulu
hatinya, dan dakwah kesudahannya berjalan dalam keadaan suka sama suka. Enak
sekali.
Berkembangnya puji-pujian, dan salawatan di satu pihak, dan
gending-gending kearifan hidup karangan Sunan Kalijaga di lain pihak,
membuktikan satu hal: luasnya jangkauan pengaruh sastra lisan bernapaskan
dakwah Islamiah dalam masyarakat.
Pada saat yang sama ia juga membuktikan luasnya pengaruh dan kewibawaan
kultural dunia pesantren.
***
Sekarang tradisi puji-pujian dan salawatan sudah punah di kampung saya,
karena kabarnya ada pihak yang khawatir bila dalam pujian terdapat elemen
kultus (terhadap Gusti Kanjeng Nabi Muhammad Saw.) yang bisa makin ‘miring’ ke
kemusyrikan.
Saya tidak tahu apakah benar itu alasannya menghentikan tradisi pujian
dan salawatan tadi? Sekiranya benar, kita tampaknya masih tetap berhadapan
dengan ‘agenda lama: ketegangan antara
wajah lokal Islam dengan wajah universal.
Ketegangan ini bisa saja terus berlanjut. Tapi, saya tak berminat
melibatkan diri. Bagi saya perkaranya mudah: kalau di kampung puji-pujian dan
salawatan dilarang, saya masih bisa melakukannya di Jakarta dengan keluarga. Agama itu enak dan
mengenakkan.
Dalam beragama karenanya saya emoh tunduk pada ‘garis komando’ dan suara
otoritas mana pun. Lagi pula bukankah kita hidup berdampingan dengan komunitas
umat yang luas, terbuka, dan kritis serta plural. Artinya, tak cuma ini dan tak
pula cuma itu”.
Ada
memang saat kita perlu ‘jaket’. Tapi dalam dakwah, usaha ‘memasarkan’ keluhuran
moral yang tak memihak, pentingkah warma ‘jaket’ diperdebatkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar