Rabu, 24 Desember 2014

STRATEGI PARA EMPU



 Oleh :  Zaenal   arif 

Pada tahun-tahun ketika Kanjeng Sunan Kalijaga aktif melakukan syiar Islam di Tanah Jawa, ia sudah menemukan peradaban Jawa yang mulai kelihatan lelah. Perang demi perang pernah terjadi. Raja satu jatuh, diganti raja yang lain. Dan setiap sebuah kerajaan runtuh, kerajaan lain pun ditegakkan. Kekosongan selalu diisi. Tetapi dalam keseluruhan rangkaian gejolak itu, korban jiwa selalu jatuh. Dan darah mengalir. Termasuk di kalangan kawula cilik yang tak langsung bersentuhan dengan kekuasaan dan tak jarang kemudian dilupakan ketika para raja baru membagi-bagi ‘kue’ hasil perjuangan di tengah kerabat dan kadang sentana keraton.
Sejak zaman Ken Arok (Tumapel) beralih ke Singasari, ganti Jenggala (Kediri), ganti lagi ke Majapahit sampai kemudian pindah pula ke Demak dan kemudian Pajang, tak terhingga sudah berapa banyak jiwa menjadi korban dan berapa banyak rakyat yang ikut terbungkuk-bungkuk memikul beban yang mungkin tak seharusnya mereka pikul.
Peninggalan-peninggalan zaman lampau itu (rongsokan keraton, denah saluran irigasi, makam dan candi-candi) di satu pihak menggambarkan runtuhnya ambisi besar di kalangan atas, dan di pihak lain menunjukkan beban berat yang pernah dipikul rakyat. Dengan begitu mungkin benar jadinya bahwa peninggalan-peninggalan itu merupakan monumen penindasan yang pernah melelahkan.
Kecuali perang-perang itu, agama-agama asing pun datang  dan saling mendesak. Kemapanan agama yang lebih dulu dating digeser sedikit atau didepan jauh ke wilayah pinggir, dan bukan di pusat-pusat peradaban (keraton). Kedatangan Islam yang menggusur Hindu ke Timur (Bali) menimbulkan luka sejarah yang mungkin agak sulit dilupakan.
Tak ingin hal-hal seperti itu kembali terulang, Kanjeng Sunan Kalijaga (ketika tiba saatnya turun ke medan dakwah) menempuh strategi lain. Pendekatan yang ia pakai luwes dan halus. Dialah, barangkali, gurunya para guru besar dalam bidang strategi daikwah.
Di tangan Kanjeng Sunan, Islam yang oleh orang Jawa disebut “agama Arab” itu, bisa dengan mudah dan mulus dimasukkan ke dalam peradaban Jawa karena agama itu tak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan berwarna dan bercita rasajawa.
Kidung-kidung Jawa bernapaskan Islam ia ciptakan. Tetapi ia tak ingin sekadar berkidung. Penciptaan itu didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa hanya dengan itu dakwah Islam di Tanah Jawa akan memperoleh ruang gerak budaya secara memadai. Wali itu, dengan kata lain, sengaja menempuh sebuah strategi budaya yang dianggap cocok dengan budaya Jawa. Dan itu benar, seperti sejarah mencatat. Ia memang seorang empu kehidupan yang unggul. Tak mengherankan jadinya bila kemudian orang Jawa memberikan julukan “Guru Suci Wong Tanah Jowo”.
Salah satu kidung ciptaannya adalah Kidung “ilir-ilir, tandure wus sumilir” yang gayanya enteng seperti tembang dolanan, tapi mengandung muatan serius: ajaran menapak derajat makrifat sebagaimana diajarkan oleh guru-guru tarekat.
Artinya jelas bahwa dakwah Islam di Jawa dulu lebih banyak ditekankan pada aspek isoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan berbagai hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam Jawa lalu cenderung sufistik sifatnya.
Ada pula kidung (pujian) yang dinyanyikan khusus menjelang shalat jamaah. Isinya pepeling (peringatan) akan adanya Allah, pujian pada Allah, dan bahwa di Hari Akhir orang akan diadili dan ditentukan nasibnya berdasarkan amalannya.
Kidung ini merupakan “sampul” pembungkus nilai-nilai keislaman yang disosialisasikan ke dalam masyarakat Jawa. Dan orang Jawa pun menerimanya sebagai bagian dari kejawaan mereka sendiri. Lakon “Dewa Ruci” di dunia pewayangan itu pun tennyata sarat dengan ajaran tarekat. Ajaran manunggaling kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dengan hamba-Nya), yang menurut Abduri rahman Wahid berwawasan wahdatusy-syuhud (kesatuan dalam penyaksian), dus Islam, kuat terpancar dalam lakon simbolik itu.
Kearifan Jawa yang kita kenal sehari-hani sebagai sesuatu yang diduga khas Jawa, pandangan hidup Jawa, seperti “urip iku inung sanepane wong kang mampir ngombe” (hidup di dunia itu ibarat cuma orang mampir minum sebentar) ternyata bersumber pada ajaran wali itu juga. Artinya, sesuatu yang bukan Jawa, melainkan Islam.
Pandangan-dunia (woridview) Jawa, ternyata dipengaruhi secara kuat oleh Islam. Kearifan Kanjeng Sunan Kalijaga juga yang memberi kemungkinan pada orang Jawa yang tak bisa bilang “Sayidina Ali” (biasanya Sayidina Ngali), dan Nabi Ismangil (bukannya Ismail) menjadi pemeluk Islam yang baik. Dan juga berkat Kanjeng Sunan maka orang Jawa kemudian berpendirian bahwa “agama” (dalam hal ini Islam) ageming aji (perhiasan yang mem buat luhur jiwa pemakainya) seperti tampak dalam kidung “Mingkar Mingkuning Angkara” itu.
Hal ini menunjukkan bahwa mungkin benar kehadiran Kanjeng Sunan Kalijaga di tengah peradaban Jawa yang lelah tadi ibarat udara baru yang menyegarkan. Strategi budaya yang ia tempuh memberikan sejenis energi yang mampu merevitalisasikan budaya Jawa, seperti setrum yang memperkuat “aki” yang mulai melemah.
Tetapi kesegaran ini mungkin tidak berlangsung sangat lama. Di masa Sultan Hadiwijaya di Pajang, turun ke Sutawija khusus ya (Panembahan Senopati) di Mataram, kelelahan peradaban Jawa tampak lagi. Dalam periode pendek di masa Sultan Agung (1613-1645) ada semacam kegairahan baru. Tapi kemudian lenyap lagi terutama di zaman Amangkurat I (Tegal Arum) itu. Mungkin di zaman itu memang tidak ada seorang pun Empu (terutama di kalangan atas) yang bisa berfungsi seperti Kanjeng Sunan kalijaga: “bicara” tentang moral, keluhuran dan keabadian dengan kalangan bawah.
Baru setelah loncatan yang cukup jauh, bisa ditemukan lagi bahan tertulis dari Mangkunegoro IV yang menulis Wulangreh dan Wedatama yang penuh ajaran keislaman bagi orang Jawa. Begitu juga Serat Hidayat Jati dari Ki Ronggowarsito. Wulangreh yang, antana lain, bicara tentang ajaran mengenai cara memilih guru, ternyata bukan guru di sekolah seperti zaman ini, melainkan guru tarekat. Etika yang dibicarakan etika dunia kesufian.
Sejumlah syarat guru yang baik disebut: manusia utama, baik budi pekerti, memahami hukum, beribadah, dan orang yang murah. Syukur bila menemukan guru seorang “pertapa yang sudah bebas dari ikatan keduniaan. Dengan kata lain, jelas nampak bahwa yang dimaksud ialah ajaran untuk memperoleh guru yang bisa menuntun kitak jalan hidup asketik (zuhud).
Mengapa itu orientasinya? Tentu saja karena seperti itu corak pemahaman dari ekspresi keislaman orang Jawa. Tulisan Mangkunegoro IV itu, dengan kata lain, sebuah strategi budaya yang pas,  usaha memberi jawaban sesuai kondisi budaya yang ada.
Tiap zaman memang memiliki masalabnya sendiri. Tetapi zaman juga mempunyai orang-orangnya, yang mampu menjawab tantangan yang dihadapi. Jika dulu ada Kanjeng Sunan Kalijaga, ada Mangkunegoro IV dan ada Pujangga Ki Ronggowarsito, yang berperan sebagai Empu di zaman masing-masing, hari ini pun kita juga memiliki sejumlah Empu yang lain. Setelah peradaban kita kelelahan lagi karena pertarungan ideologi-ideologi di zaman Orla, maka di zaman Orba ini para Empu baru kita (Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali, dan beberapa nama lain telah mencoba bicara tentang pribumisasi Islam atau kontekstualisasi Islam), dengan tekanan lebih menampilkan Islam berwajah kultural.
Mengapa pula strategi budaya ini yang ditempuh? Tentu saja, jawabannya, karena respon seperti ini yang tepat buat soal-soal yang berkembang dalam budaya politik kita.
Kebudayaan, kata Ignas Kieden, memang tidak berjalan di garis linier, melainkan melingkar. Dalam lingkaran itulah pengulangan-pengulangan terjadi. Apakah lalu berarti bahwa ketiga Empu kita itu mengulangi saja apa yang dulu dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga? Apakah berarti bahwa mereka “kemasukan” ruh wali itu untuk sekali lagi meneriakkan kontekstualisasi Islam?
Hal ini mungkin tidak sangat penting. Tapi kesamaan-kesamaan mereka memang tampak menarik. Dan jika ada di antara mereka perbedaan, letak perbedaan itu cuma pada scope-nya. Para Empu zaman dulu itu scope-nya Jawa, Empu sekarang lebih luas: Indonesia .





Tidak ada komentar:

Posting Komentar