Oleh : Zaenal arif
Pada tahun-tahun ketika Kanjeng Sunan Kalijaga aktif melakukan syiar
Islam di Tanah Jawa, ia sudah menemukan peradaban Jawa yang mulai
kelihatan lelah. Perang demi perang pernah terjadi. Raja satu jatuh, diganti
raja yang lain. Dan setiap sebuah kerajaan runtuh, kerajaan lain pun
ditegakkan. Kekosongan selalu diisi. Tetapi dalam keseluruhan rangkaian gejolak
itu, korban jiwa selalu jatuh. Dan darah mengalir. Termasuk di kalangan kawula
cilik yang tak langsung bersentuhan dengan kekuasaan dan tak jarang kemudian
dilupakan ketika para raja baru membagi-bagi ‘kue’ hasil perjuangan di tengah
kerabat dan kadang sentana keraton.
Sejak zaman Ken Arok (Tumapel) beralih ke Singasari, ganti Jenggala
(Kediri), ganti lagi ke Majapahit sampai kemudian pindah pula ke Demak dan
kemudian Pajang, tak terhingga sudah berapa banyak jiwa menjadi korban dan
berapa banyak rakyat yang ikut terbungkuk-bungkuk memikul beban yang mungkin
tak seharusnya mereka pikul.
Peninggalan-peninggalan zaman lampau itu (rongsokan keraton, denah
saluran irigasi, makam dan candi-candi) di satu pihak menggambarkan runtuhnya
ambisi besar di kalangan atas, dan di pihak lain menunjukkan beban berat yang
pernah dipikul rakyat. Dengan begitu mungkin benar jadinya bahwa peninggalan-peninggalan
itu merupakan monumen penindasan yang pernah melelahkan.
Kecuali perang-perang itu, agama-agama asing pun datang dan saling mendesak. Kemapanan agama yang
lebih dulu dating digeser sedikit atau didepan jauh ke wilayah pinggir, dan
bukan di pusat-pusat peradaban (keraton). Kedatangan Islam yang menggusur Hindu
ke Timur (Bali) menimbulkan luka sejarah yang
mungkin agak sulit dilupakan.
Tak ingin hal-hal seperti itu kembali terulang, Kanjeng Sunan Kalijaga
(ketika tiba saatnya turun ke medan
dakwah) menempuh strategi lain. Pendekatan yang ia pakai luwes dan halus. Dialah,
barangkali, gurunya para guru besar dalam bidang strategi daikwah.
Di tangan Kanjeng Sunan, Islam yang oleh orang Jawa disebut “agama Arab”
itu, bisa dengan mudah dan mulus dimasukkan ke dalam peradaban Jawa karena agama
itu tak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan
berwarna dan bercita rasajawa.
Kidung-kidung Jawa bernapaskan Islam ia ciptakan. Tetapi ia tak ingin
sekadar berkidung. Penciptaan itu didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa
hanya dengan itu dakwah Islam di Tanah Jawa akan memperoleh ruang gerak budaya
secara memadai. Wali itu, dengan kata lain, sengaja menempuh sebuah strategi budaya
yang dianggap cocok dengan budaya Jawa. Dan itu benar, seperti sejarah
mencatat. Ia memang seorang empu kehidupan yang unggul. Tak mengherankan
jadinya bila kemudian orang Jawa memberikan julukan “Guru Suci Wong Tanah
Jowo”.
Salah satu kidung ciptaannya adalah Kidung “ilir-ilir, tandure wus
sumilir” yang gayanya enteng seperti tembang dolanan, tapi mengandung muatan
serius: ajaran menapak derajat makrifat sebagaimana diajarkan oleh guru-guru
tarekat.
Artinya jelas bahwa dakwah Islam di Jawa dulu lebih banyak ditekankan
pada aspek isoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan
berbagai hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap
sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam Jawa lalu cenderung sufistik
sifatnya.
Ada pula
kidung (pujian) yang dinyanyikan khusus menjelang shalat jamaah. Isinya
pepeling (peringatan) akan adanya Allah, pujian pada Allah, dan bahwa di Hari
Akhir orang akan diadili dan ditentukan nasibnya berdasarkan amalannya.
Kidung ini merupakan “sampul” pembungkus nilai-nilai keislaman yang
disosialisasikan ke dalam masyarakat Jawa. Dan orang Jawa pun menerimanya
sebagai bagian dari kejawaan mereka sendiri. Lakon “Dewa Ruci” di dunia
pewayangan itu pun tennyata sarat dengan ajaran tarekat. Ajaran manunggaling
kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dengan hamba-Nya), yang menurut Abduri rahman
Wahid berwawasan wahdatusy-syuhud (kesatuan dalam penyaksian), dus Islam, kuat
terpancar dalam lakon simbolik itu.
Kearifan Jawa yang kita kenal sehari-hani sebagai sesuatu yang diduga
khas Jawa, pandangan hidup Jawa, seperti “urip iku inung sanepane wong kang mampir
ngombe” (hidup di dunia itu ibarat cuma orang mampir minum sebentar) ternyata
bersumber pada ajaran wali itu juga. Artinya, sesuatu yang bukan Jawa, melainkan
Islam.
Pandangan-dunia (woridview) Jawa, ternyata dipengaruhi secara kuat oleh
Islam. Kearifan Kanjeng Sunan Kalijaga juga yang memberi kemungkinan pada orang
Jawa yang tak bisa bilang “Sayidina Ali” (biasanya Sayidina Ngali), dan Nabi
Ismangil (bukannya Ismail) menjadi pemeluk Islam yang baik. Dan juga berkat Kanjeng
Sunan maka orang Jawa kemudian berpendirian bahwa “agama” (dalam hal ini Islam)
ageming aji (perhiasan yang mem buat luhur jiwa pemakainya) seperti tampak
dalam kidung “Mingkar Mingkuning Angkara” itu.
Hal ini menunjukkan bahwa mungkin benar kehadiran Kanjeng Sunan Kalijaga
di tengah peradaban Jawa yang lelah tadi ibarat udara baru yang menyegarkan.
Strategi budaya yang ia tempuh memberikan sejenis energi yang mampu
merevitalisasikan budaya Jawa, seperti setrum yang memperkuat “aki” yang mulai
melemah.
Tetapi kesegaran ini mungkin tidak berlangsung sangat lama. Di masa
Sultan Hadiwijaya di Pajang, turun ke Sutawija khusus ya (Panembahan Senopati)
di Mataram, kelelahan peradaban Jawa tampak lagi. Dalam periode pendek di masa
Sultan Agung (1613-1645) ada semacam kegairahan baru. Tapi kemudian lenyap lagi
terutama di zaman Amangkurat I (Tegal Arum) itu. Mungkin di zaman itu memang
tidak ada seorang pun Empu (terutama di kalangan atas) yang bisa berfungsi
seperti Kanjeng Sunan kalijaga: “bicara” tentang moral, keluhuran dan keabadian
dengan kalangan bawah.
Baru setelah loncatan yang cukup jauh, bisa ditemukan lagi bahan tertulis
dari Mangkunegoro IV yang menulis Wulangreh dan Wedatama yang penuh ajaran
keislaman bagi orang Jawa. Begitu juga Serat Hidayat Jati dari Ki
Ronggowarsito. Wulangreh yang, antana lain, bicara tentang ajaran mengenai cara
memilih guru, ternyata bukan guru di sekolah seperti zaman ini, melainkan guru
tarekat. Etika yang dibicarakan etika dunia kesufian.
Sejumlah syarat guru yang baik disebut: manusia utama, baik budi pekerti,
memahami hukum, beribadah, dan orang yang murah. Syukur bila menemukan guru
seorang “pertapa yang sudah bebas dari ikatan keduniaan. Dengan kata lain,
jelas nampak bahwa yang dimaksud ialah ajaran untuk memperoleh guru yang bisa
menuntun kitak jalan hidup asketik (zuhud).
Mengapa itu orientasinya? Tentu saja karena seperti itu corak pemahaman
dari ekspresi keislaman orang Jawa. Tulisan Mangkunegoro IV itu, dengan kata
lain, sebuah strategi budaya yang pas, usaha memberi jawaban sesuai kondisi budaya
yang ada.
Tiap zaman memang memiliki masalabnya sendiri. Tetapi zaman juga
mempunyai orang-orangnya, yang mampu menjawab tantangan yang dihadapi. Jika
dulu ada Kanjeng Sunan Kalijaga, ada Mangkunegoro IV dan ada Pujangga Ki Ronggowarsito,
yang berperan sebagai Empu di zaman masing-masing, hari ini pun kita juga memiliki
sejumlah Empu yang lain. Setelah peradaban kita kelelahan lagi karena
pertarungan ideologi-ideologi di zaman Orla, maka di zaman Orba ini para Empu
baru kita (Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali, dan beberapa
nama lain telah mencoba bicara tentang pribumisasi Islam atau kontekstualisasi
Islam), dengan tekanan lebih menampilkan Islam berwajah kultural.
Mengapa pula strategi budaya ini yang ditempuh? Tentu saja, jawabannya,
karena respon seperti ini yang tepat buat soal-soal yang berkembang dalam
budaya politik kita.
Kebudayaan, kata Ignas Kieden, memang tidak berjalan di garis linier,
melainkan melingkar. Dalam lingkaran itulah pengulangan-pengulangan terjadi.
Apakah lalu berarti bahwa ketiga Empu kita itu mengulangi saja apa yang dulu
dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga? Apakah berarti bahwa mereka “kemasukan” ruh
wali itu untuk sekali lagi meneriakkan kontekstualisasi Islam?
Hal ini mungkin tidak sangat penting. Tapi kesamaan-kesamaan mereka
memang tampak menarik. Dan jika ada di antara mereka perbedaan, letak perbedaan
itu cuma pada scope-nya. Para Empu zaman dulu itu scope-nya Jawa, Empu sekarang
lebih luas: Indonesia .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar