Oleh : Zaenal Arif
Agama menyuruh kita memberi nama anak yang bagus-bagus. Tapi agama tak
membebani kita. Dan nama pun dengan sendirinya tak perlu menjadi beban bagi si
anak. ini mudah dicapai bila nama yang diberikan sesuai dengan status
sosial-ekonomi kita.
Sering orang lupa pada prinsip kerendahan hati ini. Orang lebih mudah
menuruti gejolak untuk memberi nama-nama yang mentereng hinga nama anak sarat
beban aspirasi orangtua.
Orang Jawa menyebutnya keberatan nama. Tak jarang akibatnya sifat dan
segenap corak perilaku si anak malah lantas bertolak belakang dengan namanya.
Benar, ini memang bukan lantaran salah bunda mengandung, tapi lebih benar lagi,
jelas bukan salah sang anak.
Anak, dengan kata lain, sering jadi korban ambisi orang tua. Anak tak
ingin dan tak berbakat jadi insinyur, misalnya, dikirim ke sekolah insinyur.
Akibatnya, tentu saja, kacau.
Ketika masalah kenakalan remaja mewabah di kalangan keluarga kaya dalam
masyarakat kita akhir tahun 1960-an, ada pemikiran yang mengatakan hal itu
muncul karena kita belum bisa berperilaku sebagai orang kaya. Ada orang-orang yang “dendam” terhadap
kemiskinan masa lalu hingga mereka kelewat memanjakan anak. Kalau perlu, cucu,
cicit, buyut, tujuh turunan, dipersiapkan jumlah warisannya.
Dan aneh, demi sesuatu yang belum tenth diperlukan sang anak, orang rela
meniipu, ‘menjual jabatan, dan mencaplok orang lain untuk kemajuan usahanya.
Demi anak orang rela membutatulikan diri dan kebenaran. Syahdan, inilah kisah
Destarastra yang bersekongkol dengan Dewi Gandari (sang istri yang tamak) dan
Sengkuni.
Ketika Pandu, Raja Astina, wafat, Destarastra dititipi keratin seisinya,
berhubung Pandawa Lima, anak-anak Pandu, masih bocah. Pada mulanya, niat
Destarastra baik. Ia tulus menjaga amanah. Dan negeri pun diperintah dengan
cara konstitusional.Rakyat makmur. Dan penindasan, baik politik maupun ekonomi,
tak terjadi.
Tapi tahta memang empuk. Jadi raja pun sungguh mulia di-sunggi-sunggi,
disembah-sembah. Apalagi sang istri dan maha patih terus membikin kondisi
begitu rupa agar baginda tetap dalam suasana mabul kamukten hingga mudah
dibikin lupa bahwa itu keraton bukan dia punya. Barang titipan itu,
pendeknya,ingin dia wariskan kepada anak cucu.
Panjang riwayat dan usaha menyadarkan Destarastra agar keraton
dikembalikan kepada yang hak. Tapi semua usaha gagal. Pernah Bima, setelah
remaja, menyindir bahwa Destarastra (yang buta matanya itu) temyata buta pula
hatinya. Tapi Destarastra tidak malu.
Tragedi Destarastra memang cuma tontonan, seperti halnya drama-drama
Rendra. Tapi ia juga tuntunan, dan sesuluh ke dalam batin yang sering kelam,
sebab, bukankah tak mustahil Destarastra itu adalah kita sendiri?
Dalam hidup kita, tak semua orang yang doyan bicara moral adalah santo
dan nabi-nabi.
Sifat serakah dan segenap kelicikan ada di mana-mana, dulu dan juga
sekarang. Bersahaja, lugu, jujur dan tulus”akar” segenap ketenteraman - sudah
terpangkas dan kita tak tahu di mana menemukannya.
Hidup kolektif kita, terutama dalam cara kita memperlakukan anak, mungkin
sudah salah arah. Mungkin kita mengalami sejenis ‘disorientasi’. Kita cuma tinggal mengenal
satu hal: maten, kekayaan, kelimpahan harta. Di luar itu gelap, dan kita
meraba-raba seperti Destarastra yang buta.
Secara ruhani, hidup kita kering. Orang bilang ini zaman kebangkitan
agama-agama, tapi saya rasa cuma kulit luarnya yang bangkit. Agama-agama tampil
cuma dalam bentuk kekuatan massa.
Kekuatan itu efektif bila semata dimanfaatkan buat kepentingan politik. Agama
tampaknya tak lagi mampu membikin gebrakan moral. Buktinya, mereka tak berdaya
membendung kekerasan demi kekerasan yang muncul hampir tiap detik di depan
hidup kita.
Bukan agama-agama itu yang salah, melainkan kita. Agama agama kita
preteli spiritualitasnya, dan kita panggul kesana-kemari kerangka dan
simbol-simbol luarnya yang keropos, buat menipu diri bahwa kita pemeluk agama
yang saleh.
Jarang kita bicara seperti Imam Al-Ghazali, yang mengembangkan kredo
tasawuf (sebagaimana tampak dalam buku tipisnya, O Anak), bahwa ruh agama akan
kita tangkap, ilmu dan kebenarannya kita pegang, bila kita mengamalkannya.
Agama, dengan kata lain, minta diamalkan dan disikapi sebagai ajaran
beramal demi kemaslahatan semesta. Dan amalan itu berbagai macam coraknya.
Bersikap waspada, asketik dan mengambil jarak dan kekuasaan (hal yang saya
bayangkan untuk jadi kredo dan etos kaum intelektual), merupakan salah satu
contoh.
Di zaman Imam A1-Ghazali, kabarnya kebejatan moral para pemegang
kekuasaan negara merajalela, hingga Imam ini menganjurkan sikap sebaliknya:
jauhkan diri dari kekuasaan.
Di zaman Sultan Hadiwijaya mémenintah Pajang, putra mahkota, Pangeran
Benawa pun, menarik diri dari keraton, jauh dari kekuasaan. Juga Kumbakarna di
Alengka. Dan Bung Hatta, setelah Soekarno tak lagi mau mendengar hati
nuraninya. Dwi tunggal pun lalu pisah di tengah jalan. Di situlah sisi hidup intelektual
Hatta tampak: ia bukannya membela kekuasaan, melainkan nilai-nilai penentu arah
hidup bangsa dan negara.
Moralitas seperti itu bukan satu-satunya yang harus kita pilih, tapi bila
kita masih ingin gegap gempita bicara tentang pewarisan nilai-nilai pada anak,
pilihan ini tepat. Kecuali itu mungkin bisa membebaskan anak dari kecenderungan
menjadi “kuda beban ” bagi ambisi kita, terutama bila anak dibiarkan bebas
menempuh sendiri jalan dan kearifan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar