Rabu, 24 Desember 2014

"ANAK" SEBUAH PERMATA TITIPAN DARI TUHAN



Oleh  : Zaenal Arif

Agama menyuruh kita memberi nama anak yang bagus-bagus. Tapi agama tak membebani kita. Dan nama pun dengan sendirinya tak perlu menjadi beban bagi si anak. ini mudah dicapai bila nama yang diberikan sesuai dengan status sosial-ekonomi kita.
Sering orang lupa pada prinsip kerendahan hati ini. Orang lebih mudah menuruti gejolak untuk memberi nama-nama yang mentereng hinga nama anak sarat beban aspirasi orangtua.
Orang Jawa menyebutnya keberatan nama. Tak jarang akibatnya sifat dan segenap corak perilaku si anak malah lantas bertolak belakang dengan namanya. Benar, ini memang bukan lantaran salah bunda mengandung, tapi lebih benar lagi, jelas bukan salah sang anak.
Anak, dengan kata lain, sering jadi korban ambisi orang tua. Anak tak ingin dan tak berbakat jadi insinyur, misalnya, dikirim ke sekolah insinyur. Akibatnya, tentu saja, kacau.
Ketika masalah kenakalan remaja mewabah di kalangan keluarga kaya dalam masyarakat kita akhir tahun 1960-an, ada pemikiran yang mengatakan hal itu muncul karena kita belum bisa berperilaku sebagai orang kaya. Ada orang-orang yang “dendam” terhadap kemiskinan masa lalu hingga mereka kelewat memanjakan anak. Kalau perlu, cucu, cicit, buyut, tujuh turunan, dipersiapkan jumlah warisannya.
Dan aneh, demi sesuatu yang belum tenth diperlukan sang anak, orang rela meniipu, ‘menjual jabatan, dan mencaplok orang lain untuk kemajuan usahanya. Demi anak orang rela membutatulikan diri dan kebenaran. Syahdan, inilah kisah Destarastra yang bersekongkol dengan Dewi Gandari (sang istri yang tamak) dan Sengkuni.
Ketika Pandu, Raja Astina, wafat, Destarastra dititipi keratin seisinya, berhubung Pandawa Lima, anak-anak Pandu, masih bocah. Pada mulanya, niat Destarastra baik. Ia tulus menjaga amanah. Dan negeri pun diperintah dengan cara konstitusional.Rakyat makmur. Dan penindasan, baik politik maupun ekonomi, tak terjadi.
Tapi tahta memang empuk. Jadi raja pun sungguh mulia di-sunggi-sunggi, disembah-sembah. Apalagi sang istri dan maha patih terus membikin kondisi begitu rupa agar baginda tetap dalam suasana mabul kamukten hingga mudah dibikin lupa bahwa itu keraton bukan dia punya. Barang titipan itu, pendeknya,ingin dia wariskan kepada anak cucu.
Panjang riwayat dan usaha menyadarkan Destarastra agar keraton dikembalikan kepada yang hak. Tapi semua usaha gagal. Pernah Bima, setelah remaja, menyindir bahwa Destarastra (yang buta matanya itu) temyata buta pula hatinya. Tapi Destarastra tidak malu.

Tragedi Destarastra memang cuma tontonan, seperti halnya drama-drama Rendra. Tapi ia juga tuntunan, dan sesuluh ke dalam batin yang sering kelam, sebab, bukankah tak mustahil Destarastra itu adalah kita sendiri?
Dalam hidup kita, tak semua orang yang doyan bicara moral adalah santo dan nabi-nabi.
Sifat serakah dan segenap kelicikan ada di mana-mana, dulu dan juga sekarang. Bersahaja, lugu, jujur dan tulus”akar” segenap ketenteraman - sudah terpangkas dan kita tak tahu di mana menemukannya.
Hidup kolektif kita, terutama dalam cara kita memperlakukan anak, mungkin sudah salah arah. Mungkin kita mengalami sejenis  ‘disorientasi’. Kita cuma tinggal mengenal satu hal: maten, kekayaan, kelimpahan harta. Di luar itu gelap, dan kita meraba-raba seperti Destarastra yang buta.
Secara ruhani, hidup kita kering. Orang bilang ini zaman kebangkitan agama-agama, tapi saya rasa cuma kulit luarnya yang bangkit. Agama-agama tampil cuma dalam bentuk kekuatan massa. Kekuatan itu efektif bila semata dimanfaatkan buat kepentingan politik. Agama tampaknya tak lagi mampu membikin gebrakan moral. Buktinya, mereka tak berdaya membendung kekerasan demi kekerasan yang muncul hampir tiap detik di depan hidup kita.
Bukan agama-agama itu yang salah, melainkan kita. Agama agama kita preteli spiritualitasnya, dan kita panggul kesana-kemari kerangka dan simbol-simbol luarnya yang keropos, buat menipu diri bahwa kita pemeluk agama yang saleh.
Jarang kita bicara seperti Imam Al-Ghazali, yang mengembangkan kredo tasawuf (sebagaimana tampak dalam buku tipisnya, O Anak), bahwa ruh agama akan kita tangkap, ilmu dan kebenarannya kita pegang, bila kita mengamalkannya.
Agama, dengan kata lain, minta diamalkan dan disikapi sebagai ajaran beramal demi kemaslahatan semesta. Dan amalan itu berbagai macam coraknya. Bersikap waspada, asketik dan mengambil jarak dan kekuasaan (hal yang saya bayangkan untuk jadi kredo dan etos kaum intelektual), merupakan salah satu contoh.
Di zaman Imam A1-Ghazali, kabarnya kebejatan moral para pemegang kekuasaan negara merajalela, hingga Imam ini menganjurkan sikap sebaliknya: jauhkan diri dari kekuasaan.
Di zaman Sultan Hadiwijaya mémenintah Pajang, putra mahkota, Pangeran Benawa pun, menarik diri dari keraton, jauh dari kekuasaan. Juga Kumbakarna di Alengka. Dan Bung Hatta, setelah Soekarno tak lagi mau mendengar hati nuraninya. Dwi tunggal pun lalu pisah di tengah jalan. Di situlah sisi hidup intelektual Hatta tampak: ia bukannya membela kekuasaan, melainkan nilai-nilai penentu arah hidup bangsa dan negara.
Moralitas seperti itu bukan satu-satunya yang harus kita pilih, tapi bila kita masih ingin gegap gempita bicara tentang pewarisan nilai-nilai pada anak, pilihan ini tepat. Kecuali itu mungkin bisa membebaskan anak dari kecenderungan menjadi “kuda beban ” bagi ambisi kita, terutama bila anak dibiarkan bebas menempuh sendiri jalan dan kearifan mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar