Rabu, 24 Desember 2014

" JALAN ARTERI KE RUMAH TUHAN "



Oleh  : Agus Zaenal Arif



Pemikiran sosial, filosofis, dan teologis keagamaan tidak memerlukan sintesis, karena corak pemikiran dan tafsir siapa yang bisa dijadikan sintesis seperti? Lagi pula siapa yang akan memberi hak pada seseorang untuk bertindak (atas nama orang banyak) merumuskan sintesis tersebut? Kita memiliki hak yang sama untuk memberi tafsir serta memikirkan corak keagamaan yang pas buat masyarakat kita. Kesempatan terbuka bagi siapa saja yang memiliki kemampuan itu.
Maka tak mengherankan bila aneka corak pemikiran keagamaan silih berganti muncul dalam masyarakat kita. Kecenderungan seperti ini sehat saja. Seolah-olah ia ingin menggaris bawahi hadis Nabi yang intinya menjunjung tinggi warna-warni corak pemikiran yang berbeda satu sama lain. “Perbedaan pendapat di antara umatku,” kata Rasulullah, “adalah rahmat”.
Islam, menerima dan mengajarkan kepada kita untuk menghargai perbedaan pandangan. Tapi, anehnya, kita para pendukungnya sering menemukan diri sebagai orang-orang yang kelihatan alergi terhadap perbedaan itu. Sebentar-sebentar kita dengar cacian dan tuduhan dari suatu kelompok pada kelompok lain, bahwa mereka tidak Islami, agen para kafir, Yahudi dan Nasrani. Sambil melontarkan tuduhan itu, mereka memproklamasikan diri sebagai yang paling benar dan paling selamat dalam mengantar umat ke rumah Tuhan.
Tahim 1970-an muncul kelompok pembaru dalam pemikiran keagamaan. Orang menyebut mereka kelompok neomodernisme Islam. Sejuinlah nama dalam kelompok itu harus disebut (Abmad Wahib, Lohan Effendi, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat, Abdurrahman Wahid) dan tidak lupa orang menempatkan Nur cholish Mad jid pada urutan pertama.
Sederet alasan sebaiknya juga disebut mengapa mereka disebut kelompok pembaru dan kita tahu mengapa, tapi dalam tulisan pendek ini tidak harus. Hal yang harus disebut (karena orang sering lupa atau tidak tahu) adalah bahwa kelompok ini tidak pernah punya klaim kebenaran. Mereka, termasuk benggolnya, Nurcholish Madjid, tidak pernah menyeru-nyeru umat atau berbisik sendirian bahwa pemikiran keagamaan merekalah yang paling benar dan paling tepat dijadikan anutan umat.
Dengan kata lain, mereka hadir di tengah-tengah keruwetan hidup, seraya membawa tawaran alternatif pemikiran keagamaan. Tawaran ini merupakan ‘komoditi” intelektual untuk diterima atau ditampik. Terhadap tawaran itu artinya kita bebas menentukan sikap. Para tokoh ini tidak marah jika tawarannya ditolak, sebab mereka sadar bahwa pemikiran mereka cuma salah satu dari banyak alternatif yang ada. Abdurrahman Wahid bahkan sering blak-blakan menganjurkan agar dalam kehidupan sosio-politik dan kultural yang bersifat serbaneka (plural) dalam masyarakat kita, Islam jangan dianggap satu-satunya sumber kebenaran, melainkan salah satu alternatif kebenaran tadi.
Nurcholish Madjid tidak berkata begitu, tetapi spiritnya sama, ia menganjurkan agar kita giat terus-menerus menggali dengan rasa haus” yang tak pernah terpuaskan atas sumber-sumber kebenaran. Ia menawarkan sikap untuk tidak cepat merasa puas dengan jawaban sementara yang telah kita peroleh. Tokoh ini, dengan kata lain, bicara secara implisit bahwa gagasan-gagasannya pun bukan sebuah kebenaran yang bisa langgeng. Kita diimbau untuk rela melepaskan kembali kebenaran yang ada dalam genggaman, jika terbukti di kemudian hari kebenaran itu tidak lagi tepat bagi konteks zamannya.
Satu-satunya klaim yang mereka miliki hanyalah bahwa mereka menganggap pikiran-pikiran pembaruan mereka bersifat responsif terhadap tuntutan zaman. Mereka “menyimpan” gagasan-gagasan generasi pendahulu dan menelorkan gagasan baru yang sesuai dengan tuntutan dan kondisi sosio-politik dan kultural dalam masyarakat kita. Konsep pribumisasi Islam dan Islam kontekstual, itu misalnya, bisa dijadikan contoh.
Lakum dinukum wa liyadin dalam pemahaman bebas saja, setelah mencoba menangkap spirit yang ditawarkan kelompok ini, bukan merupakan kecongkakan dan the emerging forces di tanah Arab zaman itu. Benar bahwa lakum dinukuin wa liyadin pertama-tama harus ditangkap maknanya sebagai pernyataan teologis yang jelas, ringkas dan tegas, bahwa kita tak boleh mencla-mencle dalam beragama. Tetapi ketegasan ini sama sekali bukan sebuah pengingkaran eksistensial bagi agama-agama lain.
Secara internal (dalam Islam) diproklamasikan bahwa tuhan-tuhan kecil (dewa) telah mati satu per satu, dan diakui cuma ada satu Tuhan Besar, Maha besar, yang merupakan Tuhan semesta alam. Secara eksternal, tuhan-tuhan kecil tadi boleh saja tetap hidup dalam alam kepercayaan kelompok-kelompok penganut agama lain, sebab Islam, seperti telah disebut tadi, tak menaruh keberatan jika kelompok lain tetap percaya akan adanya sesembahan yang lain. Dengan begitu selain merupakan pernyataan teologis, lakum dinukum waliyadin tadi juga harus dipahami sebagai sebuah pernyataan sosiologis dalam hubungan antar kelompok (agama). Pendek kata, dimensi sosiologis dan ayat itu dulunya, tapi begitu juga sekarang ini, merupakan jalan keluar kesumpekan. Jalan keluar itu artinya sudah dimiliki Islam sejak ‘di sananya’.
Dalam hidup sehari-hari, suasana sumpek itu tidak cuma bisa timbul dalam hubungan antar, tetapi bisa juga inter, agama. Klaim paling benar di antara warna-warni kelompok dalam Islam tadi bisa disebut sebagai contoh kesumpekan tersebut. Barangkali orang tetap sadar (termasuk yang punya klaim itu) bahwa mereka berada dalam dilema, ngaku paling benar itu tidak benar, mengkafirkan orang lain bukanlah haknya. Tapi lalu apa lagi yang harus dikatakan untuk menekankan betapa sungguh-sungguhnya mereka memperjuangkan agama Allah? Klaim macam itu, dengan kata lain, mungkin tadinya cuma sekadar sebuah garis bawah untuk bisa memperoleh sebanyak mungkin “domba” yang harus diselamatkan.
Karena itu, memang, lalu harus diakui, tiap-tiap warna kelompok serius menyediakan jalan penyelamatan menurut pemahaman mereka sendiri. Begitu juga kelompok Islam Jama’ah, (dulunya Dar Al-Hadits), Dar Al-Arqain, Jami’at Al-Tabliglz, Ahmadiyah, MU dan Muhainmadiyah, dan lain-lain.
Gagasan-gagasan pembaharuan dan kelompok neomodernisme Nurcholish Madjid, dan kawan-kawannya yang tak punya klaim kebenaran apa pun itu, mencoba menampilkan Wajah Islam yang sumeh (ramah), murah, melingkupi dan merangkul berbagai pihak, dengan kerendahan hati. Dengan kata lain, mereka membangun jalan arteri ke rumah Tuhan.
Belajar dari kenyataan di Jakarta bahwa ternyata jalan arteripun bisa juga macet, maka kita juga harus bersedia melihat kemungkinan macetnya jalan arteri yang dibangun kelompok ini. Apalagi sekarang pun Bang Ridwan Saidi, Syeikhul Betawi dan konco-konco-nya yang bersemangat itu, telah menghalang-halangi di perjalanan.
Secara pribadi saya tidak kaget dan juga tidak heran melihat sikap mereka terhadap kelompok neomodernis ini, khususnya Nurcholish Madjid. Mereka, terutama semangat menuduhnya itu, cuma menyanyikan” lagu yang dulu telah dinyanyikan ke lompok lain. Harapan kita cuma satu dalam situasi ini, agar ketegangan doktrinal antara mereka tadi dasarnya bukan karena cemburu ini dan itu, melainkan semoga didasari rasa cinta dalam persaudaraan Islam.
Dengan begitu, sebagai hamba yang sama-sama ingin menuju ke rumah Tuhan, kita bisa berbagi jalan. Artinya tak perlu saling menyalip. Dan kelak, setelah tiba di sana, siapa tahu disuguhi kopi. Dan bukankah nyaman ngopi bersama teman sambil bernostalgia tentang HMI dan saat-saat indah di masa mahasiswa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar