Oleh : Agus Zaenal Arif
Pemikiran sosial, filosofis, dan teologis keagamaan tidak memerlukan
sintesis, karena corak pemikiran dan tafsir siapa yang bisa dijadikan sintesis
seperti? Lagi pula siapa yang akan memberi hak pada seseorang untuk bertindak
(atas nama orang banyak) merumuskan sintesis tersebut? Kita memiliki hak yang sama
untuk memberi tafsir serta memikirkan corak keagamaan yang pas buat masyarakat
kita. Kesempatan terbuka bagi siapa saja yang memiliki kemampuan itu.
Maka tak mengherankan bila aneka corak pemikiran keagamaan silih berganti
muncul dalam masyarakat kita. Kecenderungan seperti ini sehat saja. Seolah-olah
ia ingin menggaris bawahi hadis Nabi yang intinya menjunjung tinggi warna-warni
corak pemikiran yang berbeda satu sama lain. “Perbedaan pendapat di antara
umatku,” kata Rasulullah, “adalah rahmat”.
Islam, menerima dan mengajarkan kepada kita untuk menghargai perbedaan
pandangan. Tapi, anehnya, kita para pendukungnya sering menemukan diri sebagai
orang-orang yang kelihatan alergi terhadap perbedaan itu. Sebentar-sebentar
kita dengar cacian dan tuduhan dari suatu kelompok pada kelompok lain, bahwa
mereka tidak Islami, agen para kafir, Yahudi dan Nasrani. Sambil melontarkan
tuduhan itu, mereka memproklamasikan diri sebagai yang paling benar dan paling
selamat dalam mengantar umat ke rumah Tuhan.
Tahim 1970-an muncul kelompok pembaru dalam pemikiran keagamaan. Orang
menyebut mereka kelompok neomodernisme Islam. Sejuinlah nama dalam kelompok itu
harus disebut (Abmad Wahib, Lohan Effendi, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat, Abdurrahman
Wahid) dan tidak lupa orang menempatkan Nur cholish Mad jid pada urutan
pertama.
Sederet alasan sebaiknya juga disebut mengapa mereka disebut kelompok
pembaru dan kita tahu mengapa, tapi dalam tulisan pendek ini tidak harus. Hal
yang harus disebut (karena orang sering lupa atau tidak tahu) adalah bahwa
kelompok ini tidak pernah punya klaim kebenaran. Mereka, termasuk benggolnya,
Nurcholish Madjid, tidak pernah menyeru-nyeru umat atau berbisik sendirian bahwa
pemikiran keagamaan merekalah yang paling benar dan paling tepat dijadikan
anutan umat.
Dengan kata lain, mereka hadir di tengah-tengah keruwetan hidup, seraya
membawa tawaran alternatif pemikiran keagamaan. Tawaran ini merupakan
‘komoditi” intelektual untuk diterima atau ditampik. Terhadap tawaran itu
artinya kita bebas menentukan sikap. Para
tokoh ini tidak marah jika tawarannya ditolak, sebab mereka sadar bahwa
pemikiran mereka cuma salah satu dari banyak alternatif yang ada. Abdurrahman
Wahid bahkan sering blak-blakan menganjurkan agar dalam kehidupan sosio-politik
dan kultural yang bersifat serbaneka (plural) dalam masyarakat kita, Islam
jangan dianggap satu-satunya sumber kebenaran, melainkan salah satu alternatif
kebenaran tadi.
Nurcholish Madjid tidak berkata begitu, tetapi spiritnya sama, ia
menganjurkan agar kita giat terus-menerus menggali dengan rasa haus” yang tak
pernah terpuaskan atas sumber-sumber kebenaran. Ia menawarkan sikap untuk tidak
cepat merasa puas dengan jawaban sementara yang telah kita peroleh. Tokoh ini,
dengan kata lain, bicara secara implisit bahwa gagasan-gagasannya pun bukan
sebuah kebenaran yang bisa langgeng. Kita diimbau untuk rela melepaskan kembali
kebenaran yang ada dalam genggaman, jika terbukti di kemudian hari kebenaran
itu tidak lagi tepat bagi konteks zamannya.
Satu-satunya klaim yang mereka miliki hanyalah bahwa mereka menganggap
pikiran-pikiran pembaruan mereka bersifat responsif terhadap tuntutan zaman.
Mereka “menyimpan” gagasan-gagasan generasi pendahulu dan menelorkan gagasan
baru yang sesuai dengan tuntutan dan kondisi sosio-politik dan kultural dalam
masyarakat kita. Konsep pribumisasi Islam dan Islam kontekstual, itu misalnya,
bisa dijadikan contoh.
Lakum dinukum wa liyadin dalam pemahaman bebas saja, setelah mencoba
menangkap spirit yang ditawarkan kelompok ini, bukan merupakan kecongkakan dan
the emerging forces di tanah Arab zaman itu. Benar bahwa lakum dinukuin wa
liyadin pertama-tama harus ditangkap maknanya sebagai pernyataan teologis yang
jelas, ringkas dan tegas, bahwa kita tak boleh mencla-mencle dalam beragama.
Tetapi ketegasan ini sama sekali bukan sebuah pengingkaran eksistensial bagi
agama-agama lain.
Secara internal (dalam Islam) diproklamasikan bahwa tuhan-tuhan kecil
(dewa) telah mati satu per satu, dan diakui cuma ada satu Tuhan Besar, Maha besar,
yang merupakan Tuhan semesta alam. Secara eksternal, tuhan-tuhan kecil tadi
boleh saja tetap hidup dalam alam kepercayaan kelompok-kelompok penganut agama
lain, sebab Islam, seperti telah disebut tadi, tak menaruh keberatan jika
kelompok lain tetap percaya akan adanya sesembahan yang lain. Dengan begitu
selain merupakan pernyataan teologis, lakum dinukum waliyadin tadi juga harus
dipahami sebagai sebuah pernyataan sosiologis dalam hubungan antar kelompok
(agama). Pendek kata, dimensi sosiologis dan ayat itu dulunya, tapi begitu juga
sekarang ini, merupakan jalan keluar kesumpekan. Jalan keluar itu artinya sudah
dimiliki Islam sejak ‘di sananya’.
Dalam hidup sehari-hari, suasana sumpek itu tidak cuma bisa timbul dalam
hubungan antar, tetapi bisa juga inter, agama. Klaim paling benar di antara
warna-warni kelompok dalam Islam tadi bisa disebut sebagai contoh kesumpekan
tersebut. Barangkali orang tetap sadar (termasuk yang punya klaim itu) bahwa
mereka berada dalam dilema, ngaku paling benar itu tidak benar, mengkafirkan
orang lain bukanlah haknya. Tapi lalu apa lagi yang harus dikatakan untuk
menekankan betapa sungguh-sungguhnya mereka memperjuangkan agama Allah? Klaim
macam itu, dengan kata lain, mungkin tadinya cuma sekadar sebuah garis bawah
untuk bisa memperoleh sebanyak mungkin “domba” yang harus diselamatkan.
Karena itu, memang, lalu harus diakui, tiap-tiap warna kelompok serius
menyediakan jalan penyelamatan menurut pemahaman mereka sendiri. Begitu juga
kelompok Islam Jama’ah, (dulunya Dar Al-Hadits), Dar Al-Arqain, Jami’at
Al-Tabliglz, Ahmadiyah, MU dan Muhainmadiyah, dan lain-lain.
Gagasan-gagasan pembaharuan dan kelompok neomodernisme Nurcholish Madjid,
dan kawan-kawannya yang tak punya klaim kebenaran apa pun itu, mencoba
menampilkan Wajah Islam yang sumeh (ramah), murah, melingkupi dan merangkul
berbagai pihak, dengan kerendahan hati. Dengan kata lain, mereka membangun
jalan arteri ke rumah Tuhan.
Belajar dari kenyataan di Jakarta
bahwa ternyata jalan arteripun bisa juga macet, maka kita juga harus bersedia
melihat kemungkinan macetnya jalan arteri yang dibangun kelompok ini. Apalagi
sekarang pun Bang Ridwan Saidi, Syeikhul Betawi dan konco-konco-nya yang
bersemangat itu, telah menghalang-halangi di perjalanan.
Secara pribadi saya tidak kaget dan juga tidak heran melihat sikap mereka
terhadap kelompok neomodernis ini, khususnya Nurcholish Madjid. Mereka,
terutama semangat menuduhnya itu, cuma menyanyikan” lagu yang dulu telah
dinyanyikan ke lompok lain. Harapan kita cuma satu dalam situasi ini, agar ketegangan
doktrinal antara mereka tadi dasarnya bukan karena cemburu ini dan itu, melainkan
semoga didasari rasa cinta dalam persaudaraan Islam.
Dengan begitu, sebagai hamba yang sama-sama ingin menuju ke rumah Tuhan,
kita bisa berbagi jalan. Artinya tak perlu saling menyalip. Dan kelak, setelah
tiba di sana,
siapa tahu disuguhi kopi. Dan bukankah nyaman ngopi bersama teman sambil bernostalgia
tentang HMI dan saat-saat indah di masa mahasiswa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar