Oleh : Agus Zaenal Arif
Politik sering melahirkan tragedi. Baladewa merupakan salah satu tokoh
yang mengalami tragedi itu. Ia mirip Penangsang. Kemiripan itu menyangkut dua
hal, yaitu mirip wataknya, mirip nasibnya. Keduanya sering tersudut dalam
posisi getir: di pihak yang benar tapi jadi salah, dan kalah. ini yang dimaksud
tragedi.
Baladewa gagah dan sentosa. Wajahnya merah, pandangannya sedikit ke atas.
Dalam ilmu wando (psikologi wayang), wajah merah itu gambar orang yang mudah
marah. Pandangan agak ke atas pertanda suaranya lantang. Benar memang. Baladewa
mudah kalap, mudah menggebrak, dan mudah membentak orang dengan suaranya yang
keras.
Ia tokoh yang berani. Tak pemah ia mengenal takut kepada siapa pun. Modal
utamanya kebenaran. Dua hal itu merupakan kombinasi ideal yang membentuk
kelebihan pribadinya. Tapi di kedua hal itu pula letak kelemahan utamanya.
Kelemahannya? Ya. Kalau hidup Baladewa cuma di tengah masyarakat Gandhian
dan yang dihadapi orang-orang lurus, para “santo” macam Gandhi, mungkin
Baladewa unggul. Tapi dunia politik yang hiruk pikuk itu isinya lengkap:
kecuali manusia manusia berhati santo, banyak juga akal bulus, taktik dan
segenap sikap licin yang tak terduga-duga. Malah tak jarang sikap brutal dan
aneka kekejaman.
Maka jelas bahwa dalam rimba politik kebenaran bukan segala-galanya.
Mengagungkan kebenaran malah sering tampak sebagai sikap lugu dan naif. Pendek
kata, kebenaran memang harus diungkapkan. Tapi harus dalam bungkus taktik dan
strategi yang matang.
Kebenaran tidak bisa dikemukakan secara telanjang. Dan main gebrak
bukanlah the best policy. Kita lihat Penangsang yang pewaris sah atas tahta
Demak (orang yang benar) temyata kalah dari Sultan Hadiwijaya yang didukung
tangguhnya Pemanahan dan licinnya strategi Juru Martani. Dan Baladewa yang
sakfi dan tegar itu temyata mudah saja dilucuti segenap kekuatannya oleh Kresna.
Tidak ada lakon di mana Baladewa menang atas Kresna. Buat melawan Kresna,
orang memerlukan kearifan Sadewa.
Dalam masyarakat kita pun orang yang mendukung etika Baladewa mudah
tersingkir. Dalam rapat-rapat RT/RW, karang taruna, senat/dewan mahasiswa
maupun rapat di LSM, orang yang berangasan dan mudah menggebrak meja ( apapun alasan – alasannya ) akhirnya
akan menemukan diri dalam posisi tersebut. Dalam wacana politik ia akibatnya
tidak lagi berada di dalam “lingkaran” melainkan langsung jadi orang pinggiran.
Ia termarginilisasi oleh hukum-hukum dan proses politik resmi. Ia, tiba-tiba, menjadi
outcast. Mungkin hal itu juga akibat ulahnya sendiri yang tidak taktis.
Di tingkat lebih tinggi pun proses yang sama beroperasi dengan anggunnya.
Juga dalam jajaran birokrasi lain, termasuk di swasta.
Orang bisa bicara serba terbuka. Dan dalam tataran ideal tampaknya
seperti jadi sponsor keterbukaan dan sikap demokratis. Tapi jika orang itu bos
dan punya anak buah yang “liberal” serta punya perangai mudah menggebrak, ia
pasti langsung ke dapatan tidak suka pada sikap anak buah semacam itu. Dan anak
buah lain yang loyal pun diberitahu untuk tak suka pada si tukang gebrak.
Kita ini, dengan kata lain, tergolong pelaku-pelaku yang sadar atau
tidak, diam-diam ikut membunuh dan menyudut kan posisi Baladewa. Artinya kita ikut
memadamkan semangat kebenaran yang telanjang, semata karena kebenaran itu
diungkapkan tidak dengan gaya
yang kita kehendaki.
Realitas politik memang ruwet. Tak heran para ahli asing yang lebih ahli
dari kita sendiri pun sering mati langkah dalam menangalisis politik kita. Buat
hal tertentu analisis mereka tidak jalan. Ramalan mereka serba meleset.
Kecuali itu, dunia politik kita penuh kejutan. Kita sering dibikin
terkejut oleh perubahan “arus” yang tak mudah kita pahami. Perubahan mendadak
dan sikap paling anti ke sikap paling pro merupakan salah satu contoh utama.
Adakah hal itu karena dorongan sejumlah kepentingan pribadi? Kita tidak
tahu. Lagi pula itu bukan satu-satunya kemungkinan jawaban. Artinya ada lagi
kemungkinan jawaban yang lain: mungkin bosan, mungkin capai, rnungkin merasa
sia-sia, jika ia harus terus menerus memainkan “kartu” oposisi.
Sejarah dibuat capai dan dungu karena harus terus mencatat
getaran-getaran monoton, yang bergerak dari sudut ekstrem ke ekstrem lainnya
secara membosankan. Sejarah karenanya sudah gatal ingin mencatat dengan tinta
emas corak perilaku lain: tidak setuju tanpa rasa benci, menyodorkan altematif
tanpa menuding kesalahan, dan memberitahukan kekurangan ini dan itu tanpa
membuat pihak lain merasa terinjak jari kakinya.
Apa ada sosok semacam itu sekarang di dalam masyarakat kita? Inilah
soalnya. Soedjatmoko, kita tahu, sudah tidak ada. Hatta dan Sjahrir cuma
dilahirkan sekali, sesudah itu mati.
Maka hari ini mungkin memang bukan jam mainnya orang-orang macam
Soedjatmoko, Sjahrir atau Hatta. Sekarang, apa boleh buat, dalang sedang
menggelar tragedi Baladewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar