Oleh : Zaenal Arifin
Lencho, seorang petani sederhana yang frustrasi setelah tanaman jagung
dan kacangnya digasak badai salju, suatu hari menulis surat kepada Tuhan, karena baginya hanya
Tuhan yang bisa menolongnya dan ancaman bahaya kelaparan.
“Tuhan,” tulisnya (seperti tampak dalam cerita pendek Gregorio Lopezy
Fuentes dalam Suraf buat Tuhan, terjemahan Maneke Budiman, terbitan Mitra
Utama, 1991), “Kalau engkau tak menolongku, maka aku dan keluargaku akan
kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso agar bisa menanami ladangku
kembali dan menyambung hidup sampai datangnya musim panen, karena badai itu
Ia lalu menuliskan “Buat Tuhan, di amplop, memasukkan kedalamnya, dan
membawanya ke kantor pos keesokan harinya dengan tampang seperti seekor jago
yang kalah bertarung.
Tulang pos yang membaca surat
itu terbahak-bahak. Selama karirnya sebagai pegawai pos, belum pernah tahu ia
di mana alamat Tuhan. Atasannya pun ikut tertawa, tapi segera serius kembali
begitu menyadari penulisnya tentang seorang yang tebal imannya kepada Tuhan.
Kepala pos yang baik hati itu bermaksud membalas surat aneh tersebut. Ia pun kemudian
merelakan sebagian gajinya. Sisanya dimintakan dan anak buahnya secara suka
rela. Lantaran sulit mengumpulkan seratus peso, maka apa boleh buat, tujuh puluh
peson pun jadi. Lumayan buat menghibur orang yang lagi duka nestapa.
Minggu berikutnya, Lencho datang lagi ke kantor pos, menanyakan apakah
kiriman Tuhan telah sampai. Dengan puas situkang pos memberikannya.
Lencho, yang begitu yakin akan kemurahan Tuhan, tak tampak heran. Ketika
membuka amplop wajahnya malah kelihatan kerut-merut. Ia lalu menulis lagi surat pendek, dan seperti Sebelumnya, dimasukkannya surat itu ke dalam amplop.
Setelah ditulis alamat Tuhan, ditempel perangko dan dimasukkan ke dalam kotak surat, ia pun mencolot
pulang.
Kepala Pos, yang merasa bangga telah beramal saleh, bergegas membukanya.
Dalam hati ia membaca, “Tuhan, dari jumlah yang kuminta, hanya tujuh puluh peso
yang sampai di tanganku. Kirimkanlah sisanya, sebab aku sangat memerlukannya.
Tapi jangan Kau kirim melalui pos, karena semua pegawai pos itu bajingan....
Surat
buat Tuhan, seperti kita baca tadi, berisi sebuah kritik. Orang, bagaimanapun,
masih bisa percaya kepada Tuhan, tapi sulit percaya kepada birokrasi pos.
Ada jenis surat lain yang ditulis, dan disebarluaskan, lantaran
orang tak lagi percaya kepada orang lain. Kalau penulisnya blak-blakan dan
terbuka, artinya mencantumkan pula identitasnya, mungkin ia masuk klasifikasi “surat edaran”. Misalnya surat edaran RT/RW. Tetapi
bila surat yang diedarkan itu merugikan
seseorang, pihak yang merasa dirugikan mungkin akan menyebutnya “surat hasutan”
Sebaliknya, jika penulisnya ‘bersembunyi’, apa pun alasannya, mungkin
kita menyebutnya surat
kaleng”. ini pun jenis kritik juga. Ada “surat kaleng’ yang ditulis
sekadar buat mengungkapkan unek-unek, rasa kecewa, jengkel, sakit hati dan
kemarahan. Ada
pula yang tegas untuk perbaikan keadaan.
Kecuali itu “surat
kaleng bisa ditulis buat kalangan intern, dan terbatas, bisa juga buat kalangan
yang lebih luas. “Surat kaleng bagi saya
sebenarnya sama, dalam hal tertentu, dengan surat
edaran, surat pembaca, dan surat-surat jenis
lain (kecuali surat gadai, atau surat nikah). Jadi tidak
sangat menarik. Ia terlalu biasa.
Tapi dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana-mana kita agak akrab
dengan surat
kaleng ini. Siapa pun ternyata penulisnya, kepada siapa pun ditujukan, dan apa
pun persoalan yang dikemukakan serta apa pula latar belakangnya, kita akhirnya
merasa diberi tahu bahwa “surat
kaleng” tidak lahir dalam sebuah “alam hampa budaya”
“Surat
kaleng”, dengan kata lain, bicara banyak kepada kita mengenai, setidaknya,
beberapa hal. Pertama, bahwa di dalam kebudayaan yang kita bangun bersama ini
ternyata, diam-diam berkembang sejenis ketakutan kronis. Sebab terutama dalam
kaitan dengan politik, dan lebih-Iebih pada skala makro, kita sering tampak
kurang ramah.
Demi pertimbangan politik atau ekonomi, kita sering tak segan mengintai
sesama kita. Manusia, secara individu, sering tak dianggap penting dalam
politik. Kecuali bila ia punya nilai jual politis.
Kedua, kita sudah berusaha terbuka, namun tak cukup merata di sana-sini.
Dengan kata lain, banyak soal yang cuma tampak ‘taram- temaram”, jadi kurang
begitu transparan. Tak aneh bila ketidak jelasan ini mengundang kritik,
meskipun cuma daribalik kegelapan sepucuk “surat kaleng”.
Ketiga, tampaknya makin jelas di dalam masyarakat kita apa yang tidak
normal malah lantas menjadi normal. “Surat
kaleng’, bagaimanapun, bukan jalan demokrasi kita. Ia pun bukan prosedur-sosial
maupun politis yang sah untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Ia hanya outlet,
hanya sejenis pintu “darurat’, tapi tampaknya kita terus menerus darurat.
Keempat, “surat
kaleng”, ternyata merupakan sebuah demonstrasi tanpa menggelar pasukan, tanpa
jalanan, murah ongkosnya, dan aman. Disebut aman karena tak akan diburu pasukan
anti huru-hara, tak akan ditangkap, dan tak mungkin ‘ terpentung’ apalagi
tertembak dengkulnya. Penulisnya ber-”demo” sendirian, dalam kegelapan, dan mungkin
sambil cekikikan merasa puas telah melakukan sejenis cultural masturbation yang
hanya memberi psychological-orgasm pada dirinya seorang.
Kelima, ternyata “surat
kaleng” itu menampilkan diri sebagai sebuah karikatur yang menggambarkan
ketidak beresan kita. Kita di sini benar-benar dalam arti jamak: termasuk tidak
beresnya sikap si penulis sendiri. Meskipun tak ingin menjadi ahli dalam bidang
“surat kaleng’, saya bisa menilai, bisa saja
penulis ‘surat kaleng” itu sama dengan Lencho,
penulis Surat
buat Tuhan: keadaannya memilukan tapi naif, dan maaf, bloon, sebab menyodorkan
potret, yang tak jarang tidak tepat mengenai diri orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar