Rabu, 24 Desember 2014

SURAT KALENG UNTUK TUHAN



Oleh : Zaenal Arifin



Lencho, seorang petani sederhana yang frustrasi setelah tanaman jagung dan kacangnya digasak badai salju, suatu hari menulis surat kepada Tuhan, karena baginya hanya Tuhan yang bisa menolongnya dan ancaman bahaya kelaparan.

“Tuhan,” tulisnya (seperti tampak dalam cerita pendek Gregorio Lopezy Fuentes dalam Suraf buat Tuhan, terjemahan Maneke Budiman, terbitan Mitra Utama, 1991), “Kalau engkau tak menolongku, maka aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso agar bisa menanami ladangku kembali dan menyambung hidup sampai datangnya musim panen, karena badai itu

Ia lalu menuliskan “Buat Tuhan, di amplop, memasukkan kedalamnya, dan membawanya ke kantor pos keesokan harinya dengan tampang seperti seekor jago yang kalah bertarung.

Tulang pos yang membaca surat itu terbahak-bahak. Selama karirnya sebagai pegawai pos, belum pernah tahu ia di mana alamat Tuhan. Atasannya pun ikut tertawa, tapi segera serius kembali begitu menyadari penulisnya tentang seorang yang tebal imannya kepada Tuhan.

Kepala pos yang baik hati itu bermaksud membalas surat aneh tersebut. Ia pun kemudian merelakan sebagian gajinya. Sisanya dimintakan dan anak buahnya secara suka rela. Lantaran sulit mengumpulkan seratus peso, maka apa boleh buat, tujuh puluh peson pun jadi. Lumayan buat menghibur orang yang lagi duka nestapa.

Minggu berikutnya, Lencho datang lagi ke kantor pos, menanyakan apakah kiriman Tuhan telah sampai. Dengan puas situkang pos memberikannya.
Lencho, yang begitu yakin akan kemurahan Tuhan, tak tampak heran. Ketika membuka amplop wajahnya malah kelihatan kerut-merut. Ia lalu menulis lagi surat pendek, dan seperti Sebelumnya, dimasukkannya surat itu ke dalam amplop. Setelah ditulis alamat Tuhan, ditempel perangko dan dimasukkan ke dalam kotak surat, ia pun mencolot pulang.
Kepala Pos, yang merasa bangga telah beramal saleh, bergegas membukanya. Dalam hati ia membaca, “Tuhan, dari jumlah yang kuminta, hanya tujuh puluh peso yang sampai di tanganku. Kirimkanlah sisanya, sebab aku sangat memerlukannya. Tapi jangan Kau kirim melalui pos, karena semua pegawai pos itu bajingan....

Surat buat Tuhan, seperti kita baca tadi, berisi sebuah kritik. Orang, bagaimanapun, masih bisa percaya kepada Tuhan, tapi sulit percaya kepada birokrasi pos.
Ada jenis surat lain yang ditulis, dan disebarluaskan, lantaran orang tak lagi percaya kepada orang lain. Kalau penulisnya blak-blakan dan terbuka, artinya mencantumkan pula identitasnya, mungkin ia masuk klasifikasi “surat edaran”. Misalnya surat edaran RT/RW. Tetapi bila surat yang diedarkan itu merugikan seseorang, pihak yang merasa dirugikan mungkin akan menyebutnya “surat hasutan”

Sebaliknya, jika penulisnya ‘bersembunyi’, apa pun alasannya, mungkin kita menyebutnya surat kaleng”. ini pun jenis kritik juga. Ada “surat kaleng’ yang ditulis sekadar buat mengungkapkan unek-unek, rasa kecewa, jengkel, sakit hati dan kemarahan. Ada pula yang tegas untuk perbaikan keadaan.

Kecuali itu “surat kaleng bisa ditulis buat kalangan intern, dan terbatas, bisa juga buat kalangan yang lebih luas. “Surat kaleng bagi saya sebenarnya sama, dalam hal tertentu, dengan surat edaran, surat pembaca, dan surat-surat jenis lain (kecuali surat gadai, atau surat nikah). Jadi tidak sangat menarik. Ia terlalu biasa.
Tapi dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana-mana kita agak akrab dengan surat kaleng ini. Siapa pun ternyata penulisnya, kepada siapa pun ditujukan, dan apa pun persoalan yang dikemukakan serta apa pula latar belakangnya, kita akhirnya merasa diberi tahu bahwa “surat kaleng” tidak lahir dalam sebuah “alam hampa budaya”

“Surat kaleng”, dengan kata lain, bicara banyak kepada kita mengenai, setidaknya, beberapa hal. Pertama, bahwa di dalam kebudayaan yang kita bangun bersama ini ternyata, diam-diam berkembang sejenis ketakutan kronis. Sebab terutama dalam kaitan dengan politik, dan lebih-Iebih pada skala makro, kita sering tampak kurang ramah.

Demi pertimbangan politik atau ekonomi, kita sering tak segan mengintai sesama kita. Manusia, secara individu, sering tak dianggap penting dalam politik. Kecuali bila ia punya nilai jual politis.

Kedua, kita sudah berusaha terbuka, namun tak cukup merata di sana-sini. Dengan kata lain, banyak soal yang cuma tampak ‘taram- temaram”, jadi kurang begitu transparan. Tak aneh bila ketidak jelasan ini mengundang kritik, meskipun cuma daribalik kegelapan sepucuk “surat kaleng”.

Ketiga, tampaknya makin jelas di dalam masyarakat kita apa yang tidak normal malah lantas menjadi normal. “Surat kaleng’, bagaimanapun, bukan jalan demokrasi kita. Ia pun bukan prosedur-sosial maupun politis yang sah untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Ia hanya outlet, hanya sejenis pintu “darurat’, tapi tampaknya kita terus menerus darurat.

Keempat, “surat kaleng”, ternyata merupakan sebuah demonstrasi tanpa menggelar pasukan, tanpa jalanan, murah ongkosnya, dan aman. Disebut aman karena tak akan diburu pasukan anti huru-hara, tak akan ditangkap, dan tak mungkin ‘ terpentung’ apalagi tertembak dengkulnya. Penulisnya ber-”demo” sendirian, dalam kegelapan, dan mungkin sambil cekikikan merasa puas telah melakukan sejenis cultural masturbation yang hanya memberi psychological-orgasm pada dirinya seorang.
Kelima, ternyata “surat kaleng” itu menampilkan diri sebagai sebuah karikatur yang menggambarkan ketidak beresan kita. Kita di sini benar-benar dalam arti jamak: termasuk tidak beresnya sikap si penulis sendiri. Meskipun tak ingin menjadi ahli dalam bidang “surat kaleng’, saya bisa menilai, bisa saja penulis ‘surat kaleng” itu sama dengan Lencho, penulis Surat buat Tuhan: keadaannya memilukan tapi naif, dan maaf, bloon, sebab menyodorkan potret, yang tak jarang tidak tepat mengenai diri orang lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar