Oleh : Agus Zaenal Arif
Memang gawat kalau seorang raja tidak memiliki putra mahkota. Singgasana
yang menggiurkan itu akibatnya jelas akan menjadi sumber pertikaian, dan dalam
pertikaian itu hukum rimba akan menjadi satu-satunya tatanan hidup. Artinya
orang akan mudah bicara tentang homo homini lupus. Siapa paling kuat pasti
menang. lawan-lawan yang lemah terkapar.
Suksesi dalam kerajaan seperti itu, dengan sendirinya, bukan hanya tidak
mulus dan tidak konstitusional, melainkan juga berdarah. Muram dan mengerikan.
lnilah lakon Panembahan Reso: drama Rendra yang pada tahun 1986
dipentaskan dua malam berturut-turut di Istora Senayan, disaksikan oleh 15 ribu
penonton yang keasyikan seperti menikmati pergelaran Ki Dalang Timbul
Hadiprayitno dari Bantul itu.
Tak adanya putra mahkota memang cuma salah satu sebab. Ada sebab lain yang lebih parah: Baginda Raja
yang 85 tahun usianya itu sudah pikun. Raja tua tidak lagi waspada
terhadap ulah para penjilat. Hanya laporan-laporan palsu tapi kelihatan baik
yang membuat hatinya bersuka cita. Dan kepada siapa yang bersedia menjadi “bayang-bayang”-nya,
Baginda bersikap murah.
Tak perlu heran jika pemerintahannya tidak efektif. Korupsi meraja lela.
Dan para Adipati yang jauh dari sorotan pusat kekuasaan pada kecewa berat. Diam-diam
orang mulai bicara tentang kemungkinan berontak. Maka Panji Tumbal pun tampil sebagai
pemberontak itu.
Bahasa pedang kemudian bicara. Kekerasan lawan kekerasan. Akibatnya
korban pun berjatuhan. Dan seperti terjadi dalam kerusuhan di mana pun, dalam
lakon ini semua rugi. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Panembahan Reso, orang
dari luar trah darah biru yang kemudian
menjadi raja, akhimya linglung sendiri. dia tidak kuat lama duduk di atas
singgasana yang memang bukan tempat duduk biasa itu.
Lewat drama ini sebenarnya Rendra sedang menampilkan Bharatayudha dalam
versi lain, tapi tetap sara menakutkannya bagi kita. Rendra memang percaya
bahwa kekuasaan bisa di tegakkan secara damai, bersih, dan tanpa kekerasan. Ia
juga percaya bahwa bukan tak mungkin kekuasaan dioperasikan secara manusiawi,
tidak angkuh dan tidak korup. Banyak pujian buat Rendra atas lakonnya itu.
Seperti Rendra, saya juga percaya bahwa kekuasaan bias ditampilkan lebih
ramah, tidak angkuh dan tidak menindas. Tapi kepercayaan saya itu mungkin
tenlalu normatif dan lebih bersifat harapan, sebab antara apa yang saya
percayai dan realitas kekuasaan tadi terbentang jurang yang tinggi.
Ada
memang orang yang mengoperasikan kekuasaannya dengan niat ngibadah (beribadah).
Dengan kekuasaannya itu ia bisa bikin tiap orang tersenyum puas. Dengan
kekuasaannya pula tiap orang yang bersalah dibabat, dan dengan pedang yang sama
orang yang benar dibela.
Karena berkuasa, seseorang bisa membebaskan orang yang jelas-jelas salah,
dan sebaliknya ia mudah menghukum orang yang tak berdosa. Pada tingkat yang
lebih rendah, gejala yang sama terjadi: bahwa kekuasaan tetap tak bisa
membebaskan dirinya dari rasa angkuh dan sikap tiranik.
Maka, betapapun kecilnya kekuasaan selalu diperlihatkan kepada orang
lain. Orang keuangan, misalnya, bisa merasa angkuh jika melihat orang lain
berderet-deret antre, mengharap pertolongannya. Ia menikmati sejenis
kebahagiaan yang sadis melihat wajah-wajah sayu yang menggantungkan nasib
kepadanya.
Dalam situasi seperti itu, ia bisa menentukan aturan ini dan itu. Dan
jika ada yang tak puas, tanpa malu-malu ia akan berkata: ‘Aku yang berkuasa di
sini, dan bukan kamu.” Dan orang-orang yang merasa lemah lebih baik diam. Di universitas,
dosen-dosen killer biasa menikmati penindasan atas para mahasiswa yang wajahnya
tampak kiwar-kiwir menanti besok kapan diluluskan. Di dunia pers, redaktur bisa
juga dengan kekuasaannya mengambangkan nasib sebuah kolom sambil merasa nikmat
jika penulisnya merengek dan bersimpuh di depan kakinya. Dan di jalan raya
orang bisa saja menggencet supir yang salah jalan. Kemudian di desa, lurah bisa
pula menempeleng warganya yang kelewat kritis. Dan seterusnya.
Beginilah logika hidup kita berputar. Dalam perputaran itu, dari hari ke
hari kita saksikan orang-orang baku sikut dan baku jegal demi memperebutkan
kekuasaan. Dan kita saksikan pula kemudian mereka saling menindas.
“Kekuasaan itu cuma barang titipan. Jagalah. Dan gunakan ia
sewaktu-waktu, sesuai tuntutan agama,” kata para ruhaniwan.
Tak ada yang salah dalam kata-kata itu karena sebagai ruhaniwan mereka
memang harus bicara begitu. Tapi mereka suka lupa bahwa di sekitar kekuasaan,
agama tidak ada. Agama, entah bagaimana mulanya, sering tertinggal di masjid
atau di gereja. Soalnya, mungkin karena agama memang punya dunianya sendiri.
Dan dunia itu begitu jauh dari singgasana kita. Hal ini mungkin tidak aneh
karena kekuasaan memang mengandung sejenis daya bius yang membuat kita lupa
banyak hal, termasuk agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar